SUARA PEMBARUAN, 14 Juli 2004
=======Seri Tulisan ICT========
Oleh Eddy Satriya
PERTEMUAN puncak para pemimpin kelompok negera maju (G8) di Sea Island, Georgia, Amerika Serikat (AS), yang berlangsung tanggal 8 - 10 Juni 2004 lalu, mengagendakan penghapusan utang bagi negara miskin, peran Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) di Irak, dan kerangka kesepakatan perdagangan global. Pertemuan puncak tersebut juga telah merekam saling sindir antara Presiden AS George W Bush dan beberapa pemimpin negara Eropa tentang pertumbuhan ekonomi. Namun ada satu wacana yang menggugah saya, yaitu pandangan yang disampaikan oleh pemimpin Italia.
Dalam pertemuan itu, PM Italia Silvio Berlusconi menyampaikan niatnya untuk mengundang Cina dan India dalam pertemuan G-8 selanjutnya. Berlusconi berpendapat bahwa membicarakan prospek ekonomi global di masa depan tidaklah masuk akal tanpa melibatkan kedua negara besar di Asia tersebut. Usulan PM Italia ini sudah seharusnya kita cermati dan antisipasi dalam menyongsong era globalisasi dan kompetisi yang sebenar-benarnya.
Meski banyak ekonom meragukan statistik ekonomi kedua negara, khususnya Cina, tidak bisa dimungkiri bahwa potensi ekonomi dan pasar yang besar memang telah membuat keduanya semakin tidak bisa diabaikan. Usulan Berlusconi tersebut saya katakan menggugah, karena di samping kemajuan di berbagai sektor ekonomi, Cina dan India sebenarnya masih merupakan negara yang tergolong middle dan lower income country. Namun keduanya telah berhasil memanfaatkan kemajuan dalam bidang Information and Communication Technology (ICT) untuk mendorong pertumbuhan ekonominya.
ICT yang saat ini sering didefinisikan sebagai konvergensi dari telekomunikasi, teknologi informasi (IT), multimedia dan penyiaran, telah menjadi alternatif industri baru bagi Cina dan India pasca-serangan teroris 11 September 2001. Dalam Bahasa Indonesia, ICT dikenal juga dengan istilah telematika.
Menariknya, kemajuan yang telah diraih Cina dan India dalam telematika sebenarnya dimulai dari hal-hal kecil dan sederhana, bukan dari suatu program besar pemerintah. Cina mengalami booming kegiatan outsourcing beberapa industri komputer besar AS pada awal 1990-an. Bermula dari tingginya kebutuhan akan tenaga programmer dan operator Electronic Data Processing untuk memproses data dalam penyusunan perangkat lunak, seperti kamus dan ensiklopedi.
Kemampuan sumber daya manusia Asia yang di atas rata-rata untuk bidang eksakta telah sangat membantu perkembangan telematika di daratan Cina. Ditambah lagi banyaknya tenaga muda lulusan universitas di Amerika Serikat dan Eropa yang memilih kembali pulang kampung. India, di sisi lain, sedikit lebih beruntung.
Seorang rekan saya warga negara India yang juga menjabat sebagai senior economist di Asia Development Bank, pada bulan Juni 2001 membuka rahasia di balik sukses India memajukan industri telematika, khususnya dalam menumbuhkembangkan pusat-pusat riset dan industri IT lokal, baik untuk hardware maupun software.
Ia mengungkapkan bahwa bersamaan dengan booming industri IT di AS pada pertengahan 1990-an, India secara kebetulan baru saja menyelesaikan pendidikan tinggi secara besar-besaran khusus untuk tenaga di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi di berbagai universitas terkenal di dunia. Persis seperti program yang pernah dilaksanakan mantan Menristek BJ Habibie dalam merekrut lulusan terbaik SMA dikurun waktu 1980-1990, untuk disekolahkan keluar negeri lalu kemudian ditempatkan dalam beberapa industri strategis ataupun instansi pemerintah.
Faktor SDM
Faktor SDM di Cina dan coincidence yang sangat menguntungkan di India, telah mampu membuka tambahan lapangan kerja baru. Anjloknya harga saham perusahaan IT dan rontoknya perusahaan dotcom pasca WTC New York, juga telah memaksa profesional IT India dan China untuk mencari pekerjaan keluar AS, dan mengambil langkah B to B dan B to C. Bukan Business to Business atau Business to Citizien/Consumer, tapi "Back to Bengalore" dan "Back to Chinnai". Kesemua itu telah memberikan kontribusi besar bagi ekonomi kedua negara.
Bila dilihat perbandingan makro ekonomi dan kondisi telematika, Cina dan India telah maju pesat dalam penyediaan prasarana telekomunikasi yang terlihat dari total pelanggan telepon, maupun dalam hal investasi telekomunikasi, serta aksesibilitas Internet dan TV Kabel. Meskipun sama-sama tergolong negara miskin, Cina dan India jauh meninggalkan Indonesia.
Total pelanggan telepon Cina pada tahun 2001 sudah mencapai 323 juta satuan sambungan (ss), India 40 juta ss, sedangkan kita baru 13 juta ss. Jika menggunakan data awal 2004, pelanggan telepon selular memang meningkat pesat hingga memberikan angka total pelanggan telepon menjadi sekitar 30 juta ss. Namun Cina dan India telah meningkat dengan lebih cepat lagi. Dari sisi pengguna Internet pun kita tertinggal cukup jauh, terutama dari Cina.
Memperhatikan kemajuan India dan Cina, sudah sewajarnya kita melihat pula perkembangan yang telah dicapai Indonesia. Walaupun belum maksimal, Indonesia telah menikmati lumayan banyak peluang bisnis di sektor telematika.
Sebut saja peningkatan jumlah penggunaan komputer di rumah tangga, sekolah dan perkantoran, kemajuan dunia multimedia dan hiburan yang membutuhkan perangkat telematika cukup besar, ritel aksesori telepon selular yang menjamur, dan kebutuhan berbagai jenis perangkat komputer dan telekomunikasi untuk memenuhi hasrat berkomunikasi data yang murah.
Tidak ketinggalan pula manfaat yang telah dinikmati media masa cetak/elektronik dan sektor riil lainnya yang menyerap banyak tenaga kerja. Menjadi pertanyaan sekarang, akankah kemajuan tersebut dapat ditingkatkan, atau setidaknya dipertahankan setelah terbentuknya pemerintahan baru perioda 2004-2009? Mungkinkah suatu saat nanti kita juga menjadi negara yang dipertimbangkan sebagaimana halnya Cina dan India?
Pertanyaan bernada kekhawatiran tersebut sudah sewajarnya mencuat. Walaupun banyak kemajuan yang telah dicapai, masih ada beberapa kendala yang membatasi sampainya jasa telematika dengan mutu layanan yang baik, aksesibilitas yang luas dan harga yang terjangkau kepada seluruh lapisan masyarakat.
Sebut saja kendala geografis, rendahnya daya beli sebagian besar masyarakat, kebijakan yang masih belum pro-kompetisi sesuai amanat Undang-Undang Telekomunikasi No 36 Tahun 1999, mahalnya biaya investasi, rendahnya awareness masyarakat dan pejabat akan potensi telematika, tarif yang belum menunjang, serta belasan kendala lainnya yang tidak akan habis-habisnya dibahas. Kesemuanya itu membuat usaha memperkecil digital divide semakin tidak mudah.
Maju tidaknya telematika Indonesia sesungguhnya selain tergantung kepada upaya pengembangan sektor itu sendiri, juga sangat ditentukan oleh sasaran pembangunan masyarakat (society) seperti apa yang akan dituju dalam jangka menengah dan jangka panjang. Diperkirakan program pembangunan pemerintah mendatang masih akan difokuskan kepada usaha-usaha mempertahankan Negara Kesatuan RI, meneruskan program reformasi kepemerintahan dan kehidupan berpolitik, mengatasi pengangguran, dan meningkatkan pelayanan sosial dasar kepada masyarakat.
Sayangnya setelah meneliti berbagai program pembangunan yang ditawarkan lima pasang capres dan cawapres, kita memang terpaksa mengurut dada karena nyaris tidak ditemukan kata-kata "telekomunikasi", "informasi", apalagi "telematika" dalam rangkaian program mereka.
Namun kondisi itu tidak harus membuat kita pesimistis. Kita juga salah satu bangsa besar dan pernah berjaya dibidang telematika, khususnya telekomunikasi satelit. Kemampuan SDM dibidang eksakta juga tidak kalah dibandingkan Cina dan India. Karena itu semakin menjadi tantangan bagi seluruh stakeholder telematika di Indonesia untuk memberikan masukan kepada pemerintahan baru terpilih nanti.
Penulis adalah pemerhati telematika dan knowledge based economy, bekerja di Bappenas.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment