Tuesday, July 06, 2004

SAPU CAMPUR DEBU ---------seri tulisan reformasi -----------

Oleh: Eddy Satriya *)


Catatan: Telah diterbitkan di Majalah Forum Keadilan 11 Juli 2004

“Mohon maaf, Bapak menyogok berapa untuk menjadi anggota KPK?”. Demikian pertanyaan saya kepada salah seorang anggota Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang hadir sebagai pembicara dalam sebuah diskusi tanggal 1 Juni 2004 lalu. Pertanyaan tersebut sudah ada dibenak saya dan terus bergelayutan selama hampir 9 bulan. Persisnya sejak membaca iklan Pengumuman Pendaftaran Calon Pimpinan KPK di berbagai media cetak bulan Oktober tahun lalu. Oleh karena itu saya merasa beruntung mendapat undangan dan berkesempatan hadir dalam diskusi bertemakan Pegawasan Anggaran dan Pemberantasan Korupsi Pasca Pemilu Legislatif yang diadakan di sebuah hotel di kawasan Jakarta Selatan itu. Selain pembicara dari KPK, hadir pula mantan Menteri zaman Orba yang kini menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), rekan pengamat politik yang sedang pulang kampung dari tugas belajarnya, dan wakil pimpinan dari Partai Keadilan Sejahtera.

Pertanyaan - mungkin lebih tepat unek-unek - tersebut cukup mengganggu saya. Betapa tidak, ditengah hingar-bingar berbagai slogan dan program pemberantasan korupsi yang dicanangkan pemerintah maupun himbauan berbagai komponen masyarakat, tidak terlihat terobosan yang dapat diandalkan. Malah sebaliknya korupsi yang diperkuat oleh dua komponen jangkar lainnya, kolusi dan nepotisme, telah menjelma menjadi sebuah trio KKN yang semakin “ngetop” dan mewabah di tengah masyarakat. Sifat permisif, ketidakpedulian, tingkat upah yang tidak sepadan, lemahnya penegakan hukum, pelecehan terhadap jam terbang, serta rangkap jabatan untuk peran yang sesungguhnya menjadi hak orang lain, telah semakin memperburuk keadaan.

Pertanyaan yang menggangu itu muncul tatkala membaca berbagai persyaratan yang diharuskan oleh Panitia Seleksi yang dibentuk Ditjen Peraturan Perundang-Undangan, Departemen Kehakiman dan HAM. Salah satu syarat yang mengusik saya adalah butir No. 7, yaitu keharusan pemohon melampirkan Surat Keterangan Kelakuan Baik (SKKB) dari Kepolisian. Disamping mengusik nalar, persyaratan tersebut terasa menggelikan. Kentara sekali persyaratan itu diambil begitu saja dari persyaratan administrasi yang telah menjadi standar keharusan di masa lalu. Tidak tersentuh reformasi, meski iklan seleksi tersebut ditandatangani oleh nama-nama yang disegani dalam percaturan hukum di Indonesia.

Dengan membuang jauh-jauh a priori bahwa berurusan dengan kepolisian sebaiknya dihindari, maka rasa keingintahuan saya jadi semakin memuncak. Saya jadi ingin tahu bagaimana calon-calon pimpinan KPK menghadapi dan memenuhi persyaratan tersebut. Apakah mereka mampu bertahan untuk tidak menyogok ketika harus menjadi pemberantas sogok-menyogok? Juga, apakah mereka mau menghindari jalan pintas ketika berhadapan dengan kerumitan birokrasi untuk selembar surat? Walaupun bisa menduga apa yang akan terjadi, tetap saja pikiran saya baru akan lega setelah mendengar jawaban langsung dari anggota KPK terpilih tersebut.

Pertanyaan di atas, selain diawali dengan permohonan maaf juga saya dahului dengan pertanyaan untuk memastikan bahwa pembicara tidak sedang menderita penyakit jantung. Setelah memberikan penjelasan, akhirnya pertanyaan itu pun dijawab dengan jujur oleh anggota KPK tersebut.
“Ya, tapi saya suruh supir saya!”, ujarnya menjelaskan bahwa ia memang memberikan bayaran lebih untuk mendapatkan SKKB. Ditambahkannya pula bahwa uang pelicin untuk SKKB tersebut relatif kecil dibandingkan dengan surat lain yang harus dimintanya dari sebuah kantor sesuai wilayah domisili. Untuk surat keterangan asli yang tidak diuraikan lebih rinci, ia harus membayar sekitar Rp 200 ribuan ditambah Rp 50 ribu untuk setiap rangkap yang dilegalisir. Segera saya ungkapkan rasa terima kasih yang dalam atas keterbukaannya.

Sore itu pikiran saya terasa lega karena pertanyaan yang terus membayangi selama sembilan bulan itu terjawab sudah. Setelah beramah tamah dengan pembicara dan peserta lain, sayapun segera mencari taksi dan kembali ke kantor menyelesaikan beberapa pekerjaan yang tadi saya bengkalaikan. Kemacetan dan kepulan asap knalpot di kawasan Pasar Rumput, Manggarai mengingatkan saya kepada karya sastra “Deru Campur Debu” yang pernah saya baca ketika di SMA dulu. Hari ini saya meminjam judulnya dan menuliskan “Sapu Campur Debu!”
***
Argo taksi menunjukkan angka Rp 12 ribuan. Namun ketika menunggu kembalian uang Rp 20 ribuan yang saya berikan, sang supir dengan datar menjawab bahwa ia tidak punya uang receh. Sayapun segera bergegas turun. Padahal, sekelebatan terlihat uang lima ribuan tersembul di bawah bungkus rokok di dekat asbak mobil.

Mengambang dalam lift kantor membuat pikiran saya melayang. Sekarang gantian, kalau tadi pikiran saya dipenuhi pertanyaan, maka tiba giliran potongan lirik lagu pop yang dinyanyikan Utha Likumahua ditahun 1980-an yang terus mengiang, menyesaki dada dan pikiran saya. “Kita kan hidup di Indonesia, bukan disana……!”

_________
*)Pemerhati Reformasi, menetap di Sawangan-Depok ( eddysatriya.blogspot.com )

&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&
For detail and others please check my website &&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&

No comments: