Tuesday, July 13, 2004

Keledai Paling Unggul

Majalah Forum Keadilan No. 12, 18 Juli 2004
=======serial tulisan reformasi========

Oleh: Eddy Satriya *)

Syahdan, seluruh penghuni kebun binatang di sebuah kota sedang riuh rendah menyelenggarakan suatu hajatan besar. Hajatan itu adalah pemilihan Raja Kebun yang akan menjadi tumpuan harapan seluruh warga binatang agar bisa segera lepas dari berbagai belenggu keterbelakangan. Warga binatang menyadari sekali bahwa kebun mereka sudah semakin kumuh dan sepi pengunjung. Karena itu, ketika hari pemilihan semakin dekat seluruh warga binatang terlihat makin antusias menyambut pemilihan Raja Kebun.

Para kontestan calon raja sudah berhasil dijaring melalui proses yang cukup melelahkan. Ada utusan dari macan tutul dan ada pula utusan dari kelompok singa yang terus didorong oleh pendukungnya untuk tetap menjadi raja. Menariknya lagi, kelompok kancil sudah menyiapkan pula Jago Kancil yang sangat cerdik dan berilmu tinggi. Sementara itu, ada pula kelompok akar rumput (grassroot) yang sudah menyiapkan jagonya yaitu Mbah Gajah yang sangat anggun penampilan dan tutur bahasanya. Unggas pun ingin pula agar kelompoknya bisa menikmati posisi tertinggi di kebun itu. Untuk itu mereka kirimkan wakilnya seekor burung beo berbulu hijau metalik dengan noktah-noktah hitam disekitar mata. Terakhir, ada pula binatang yang sampai sekarang belum diketahui spesiesnya yang juga tercatat sebagai kontestan. Walaupun tidak diketahui jenisnya, eksistensi binatang ini terasa sekali.

Kesadaran yang sangat tinggi untuk segera mereformasi kehidupan, telah membawa warga kebun binatang itu kepada keputusan untuk menyerahkan proses pemilihan raja kepada kelompok keledai. Keledai diberi kehormatan dan kepercayaan melimpah karena konon kelompok keledai di kebun itu tergolong binatang yang paling cerdas dan cekatan. Bukan sembarang keledai, tetapi keledai terpilih yang telah lulus dari berbagai proses penyaringan. Ada yang berasal dari Perguruan Mamiri, Perguruan Cenderawasih, Perguruan Jembatan Merah, Perguruan Sangkuriang, dan Perguruan Janur Kuning. Pokoknya kelompok keledai itu dianggap laksana Dewa-Dewi dari negeri Yunani yang sangat diandalkan untuk memperbaiki mutu pemilihan Raja Kebun.

Sebelumnya, pelaksanaan proses pemilihan dilaksanakan oleh sekelompok tikus. Tikus-tikus ini dianggap tidak profesional lagi, suka mengerat kotak suara dan isinya, terkadang juga dituding merekayasa tabel hasil perhitungan. Karena itu secara aklamasi dan seperti babi buta, warga kebun binatang bersepakat mencabut mandat pelaksanaan pemilihan dari kelompok tikus dan memberikan kepercayaan kepada keledai.

Proses pengambilan suara tahap awal telah berlangsung di seluruh pelosok kebun dengan relatif tenang, tertib dan lancar. Namun kericuhan akhirnya pecah juga ketika memasuki tahap penghitungan suara. Ternyata rancangan surat suara yang terbuat dari daun pisang itu bisa menyesatkan pemilih atau tergolong “poorly designed ballot”. Kasusnya mirip dengan yang terjadi di Kebun Binatang disebuah negeri Adidaya pada tahun 2000 lalu. Alhasil, hampir sepertiga surat suara dianggap bermasalah karena coblosan terjadi diluar kotak yang disediakan.

Sungguh suatu kejadian yang bisa membahayakan proses pemilihan raja. Banyak binatang menyalahkan kelompok keledai karena dinilai lalai melaksanakan tugas. Para keledai kelihatannya terlalu sibuk tampil di berbagai panggung pertunjukan dan tidak maksimal melakukan simulasi serta mensosialisasikan tata cara pencoblosan surat suara. Namun banyak juga yang sudah malas memprotes karena keledai di kota itu terkenal paling pintar “ngeles”. Warga hanya bisa mengurut dada, apalagi keledai tersebut berilmu tinggi.

Menyadari kekeliruan tersebut beberapa keledai dengan sigap mengeluarkan maklumat kepada wakil-wakil keledai yang tersebar diseluruh penjuru kota. Pada prinsipnya, semua surat suara yang bermasalah itu harus dihitung ulang dan dinyatakan sah. Tidak lupa, Ketua Para Keledai menyatakan bahwa mereka tidak perlu meminta maaf atas edaran tersebut. Padahal kondisi di lapangan jauh berbeda.

Ada warga binatang yang menyandera kotak suara jika tidak diberi tambahan ransum, ada pula yang tidak mau melaksanakan hitung ulang karena mereka sudah terlanjur mengambil keputusan atas surat suara yang bermasalah. Bahkan ada pula yang merasa takut kalau-kalau kontestan mereka yang sudah menang tipis, bisa-bisa berbalik menjadi kalah.

Para penghuni kebun juga sangat mengkhawatirkan jika ada provokator-provokator yang memanfaatkan situasi kisruh ini untuk kepentingan kontestan tertentu, ataupun untuk memperburuk keadaan kota. Bisa-bisa pekerjaan yang telah menghabiskan ongkos sangat besar itu terancam gagal. Namun untunglah seluruh warga kebun binatang itu tergolong binatang yang berbudaya. Mereka memang lebih mendahulukan kepentingan umum.

Ada seekor burung Cucakrowo yang masih penasaran mengapa keledai yang ditunjuk melaksanakan peristiwa besar itu dan kenapa tidak minta tolong saja pada manusia yang ada diluar kebon. Ketika hal itu ditanyakannya kepada keledai, dengan ringan sang keledai memperlihatkan keunggulannya:”Keledai tidak mau masuk lobang yang sama, tapi manusia sering mengulanginya!”

Dasar keledai.
_________
*)Pemerhati Reformasi, menetap di Sawangan-Depok

&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&
For detail and others please check my website &&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&

No comments: