Forum Keadilan Edisi 14, 1 Agustus 2004
==========seri tulisan reformasi============
Oleh: Eddy Satriya *)
Denny JA sebagai salah seorang intelektual muda Indonesia - kita sebut saja begitu sesuai dengan istilah yang digunakannya - menjelang Pemilu Presiden lalu terlihat seperti "orang kebakaran jenggot". Bukan karena kesibukan barunya mendampingi salah satu pasangan Capres dan Cawapres, tetapi karena harus memberikan berbagai penjelasan terhadap tuduhan pengkhianatan intelektual atas dirinya. Tercatat antara lain Arvan Pradiansyah dari Jakarta (Tempo, 13/06/04) dan Eman Rahman dari Bekasi (Tempo, 27/06/04) yang mengutarakan tuduhan tersebut sekaligus meragukan indepedensi Denny. Tuduhan-tuduhan itu ditangkis Denny baik melalui Lembaga Survey Indonesia - LSI (Tempo, 20/06/04) ataupun langsung melalui dua artikel sejenis dengan judul berbeda yang terbit pada hari yang sama. (Media dan Pembaruan, 28/06/04).
Denny membela diri antara lain dengan menyatakan bahwa kaum intelektual sebenarnya tidaklah mungkin terus-terusan "berumah di atas angin", berdiri di atas semua golongan, dan pada saatnya nanti sesuai perkembangan politik mereka harus mengambil posisi yang tegas. Sementara staf LSI mencoba memberikan klarifikasi tentang penggunaan hasil survey dan independensi Denny.
Tuduhan dan sanggahan yang silih berganti tersebut sangatlah menarik untuk ditelaah lebih dalam, sehingga bisa didapat suatu benang merah persoalan yang merupakan bagian dari puluhan permasalahan nasional saat ini.
Pengkhianatan intelektual dari berbagai sudut pandang telah sering dibahas. Dalam tulisan ini saya ingin membahasnya dari sudut praktis di lapangan, khususnya terkait dengan aspek kehidupan berbangsa dan bernegara kita dalam enam tahun terakhir ini. Phenomena intelektual memanfaatkan ilmu dan keahliannya untuk memperoleh imbalan, baik berupa kepuasan kerja karena gagasannya bisa diwujudkan ataupun imbalan materi, sesungguhnya bukanlah phenomena baru. Tidak ada yang salah disitu. Masalah baru muncul jika para intelektual lupa dengan alur dan patut. Yaitu ketika mereka menggunakan ilmu pengetahuannya yang tidak sesuai dengan alur atau melanggar nilai kepatutan yang berlaku di tengah masyarakat.
***
Semakin tingginya intensitas dan kualitas KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) tidak pelak lagi telah menjadi salah satu sebab utama keterpurukan bangsa Indonesia setelah terbebas dari rezim otoriter. Selain lemahnya hukum, KKN juga disebabkan oleh rendahnya gaji resmi birokrat atau aparatur negara yang diserahi mandat kekuasaan. Rendahnya gaji atau tingkat upah ini telah memaksa mereka untuk mencukupi kebutuhan hidup atau mempertahankan gaya hidup yang sudah diraih sebelumnya dengan berbagai cara.
Ada yang memilih cara yang benar sehingga menghasilkan tambahan penghasilan yang halal, tapi lebih banyak lagi yang menggunakan cara-cara berbau KKN yang sangat merusak. Mental KKN yang berdayarusak maha hebat ini disadari atau tidak juga telah merambah banyak kaum intelektual: baik yang muda atau yang tua; di lingkungan swasta, birokrasi maupun akademisi; dan di pusat maupun di daerah. Ketika krisis ekonomi tidak kunjung reda dan teratasi, maka alternatif utama yang dijadikan objek KKN adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), baik rutin ataupun pembangunan. APBN telah menjelma menjadi "shabu-shabu" bagi sebagian besar mereka yang bersinggungan dengannya. Semakin dihisap, semakin mencandu, dan semakin tinggi pula tingkat ketergantungan mereka.
Pucuk dicinta ulam tiba, hajatan besar pesta demokrasi datang tepat pada waktunya. Karena itulah dalam Pemilu 1999 kita lihat banyak sekali kaum intelektual dari berbagai kalangan tampil mengaktualisasikan dirinya dalam kancah politik, baik secara terang-terangan ataupun sembunyi-sembunyi. Ujung-ujungnya jelas, tidak harus duit, tetapi kesempatan "kerja" di berbagai posisi pemerintahan. Karena itu di awal pemerintahan Megawati, banyak Departemen, Kantor Menteri Negara, dan Lembaga Non Departemen yang "ketitipan" kaum intelektual sebagai Staf Ahli dan lain-lain. Jika posisi struktural sudah penuh, mereka diangkat sebagai staf khusus. Dalam prakteknya staf khusus ini sering lebih dominan daripada staf resmi yang ada di Kementerian, Kantor Wakil Presiden, maupun di lingkungan Istana. Jika ada kunjungan Presiden atau Menteri keluar negeri, kaum intelektual biasanya lebih berkibar. Maklum, namanya juga intelektual. Ada pula intelektual yang memilih karir politik, baik coba-coba alias "kutu loncat" ataupun secara serius menekuninya.
***
Kelihatannya pengalaman Pemilu 1999 terulang lagi. Apalagi suasana dan sistem Pemilu untuk Capres dan Cawapres 2004 sangatlah kondusif. Karena itu sekarang banyak kita saksikan kaum intelektual kembali memainkan peran yang sama dengan skala yang lebih dahsyat dan terkadang nyaris tanpa memperlihatkan rasa malu.
Saya pernah merasa geli sendiri ketika memenuhi undangan diskusi yang mengambil tema mengatasi pengangguran dan pemberantasan kemiskinan di Gedung The Habibie Center, Jakarta Selatan pertengahan Juni 2004 lalu. Dari lima pembicara yang direncanakan, ternyata hadir tiga pembicara yang diperkenalkan moderator sebagai Tim Ahli pasangan Capres-Cawapres tertentu. Geli karena mereka menyampaikan progam untuk mengatasi pengangguran, tapi sehari-harinya mereka malah mengambil kesempatan kerja orang lain. Kebetulan ketiga pembicara tersebut tanpa sungkan juga sempat bercanda menunjukkan bahwa mereka pernah atau sedang merangkap sebagai komisaris di tiga Bank berbeda, disamping sebagai Tim Ahli pasangan Capres-Cawapres di musim kampanye, serta jabatan lainnya.
Disamping geli, juga timbul rasa heran dan iba saya. Betapa seorang akademisi dari sebuah universitas terkenal dari Yogyakarta yang selama ini cukup independen dan sering mengajukan koreksi atau kritik terhadap berbagai kebijakan ekonomi pemerintah, ternyata juga tidak mampu menahan daya tarik politik. Jika beberapa bulan lalu dia masih mengkritisi kebijakan ekonomi pemerintah, maka sekarang justru menjadi tim ahli Capres dari partai yang berkuasa.
Pembicara lainnya tidak jauh berbeda. Serasa baru kemaren mereka "menghakimi" kebijakan pemerintah tentang privatisasi, penyaluran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dan lain sebagainya. Sekarang tiba-tiba saja mereka sudah "pasang badan" menjadi Tim Ahli Capres-Cawapres tertentu.
***
Rangkap jabatan - mulai dari akademisi, menjadi birokrat, ditawari posisi komisaris, merangkap direktur lembaga penelitian, Ketua Tim "ABCD", pembina LSM, anggota komisi, dan yang paling "gres" menjadi Penasihat Dewan Komisaris BUMN - adalah pola baku yang diwariskan orde baru. Lika-liku rangkap jabatan ini pernah saya uraikan secara rinci dalam "Dosen, Peneliti, dan Birokrat" (Sinar Harapan, 11/1/03) serta "Jabatan Rangkap: Benarkah Sebuah Dilema?" di portal Ikatan Alumni ITB (2/8/03) yang bisa juga diakses di situs eddysatriya.blogspot.com .
Sekarang jelas bahwa masalah utamanya bukan lagi sekedar pengkhianatan intelektual. Menjadi pertanyaan kemudian, "Adilkah kita menyalahkan intelektual muda dalam kondisi memprihatinkan seperti ini?" Di satu sisi jalan pintas tersedia, senior berbuat serupa, bisnis pers dan kemajuan multimedia sangat mendukung untuk "menjual" figure intelektual guna menaikkan rating stasiun radio dan televisi, faktor jam terbang diabaikan, rasa hormat kepada pemimpin dan orang tua semakin terkikis. Di sisi lain, aturan tidak jelas.
Jika Denny mengambil contoh praktek intelektual di Amerika Serikat, maka ada baiknya kita melihat ke Timur. Seorang akademisi di Kyoto University, Jepang, untuk sementara terpaksa melepaskan tugas profesornya. Ia memilih mempertahankan jabatan sebagai Direktur di salah satu pusat penelitian ketika menerima tawaran menjadi Direktur Jenderal dalam kabinet baru. Keputusan itu harus diambilnya karena di universitasnya hanya diperbolehkan menyandang maksimal dua jabatan.
Lantas apa yang harus dilakukan? Sudah sebaiknya kita segera mengakhiri status quo ini dalam arti nyata. Tingkat upah atau gaji, termasuk untuk profesi yang banyak diemban oleh para intelektual, harus segera diperbaiki. Selain itu, rangkap jabatan harus dibatasi misalnya maksimal dua atau tiga posisi dengan aturan, pengawasan, dan sanksi yang jelas. Adalah ironi - maaf sudah sering saya ulang - tatkala TNI sudah melakukan reposisi dan mengakhiri Dwi Fungsi ABRI, pemerintahan sipil justru "melanggengkan" multi fungsi dan jabatan rangkap.
Rasanya tidaklah perlu menghentikan aktivitas Denny JA seperti dikeluhkan Bung Arvan dan Erman, ataupun menyetop "pesta" kaum intelektual lainnya yang sudah terlanjur berjalan dalam ajang kampanye Capres-Cawapres yang kini memasuki babak baru untuk pertama kalinya. Menjadi apapun seorang intelektual adalah pilihannya untuk bertahan hidup, mempertahankan gaya hidup atau belasan alasan lainnya. Sementara aturan yang tegas belum ada, kita hanya bisa meminta mereka untuk kembali memahami alur dan patut, serta lebih jujur mendengarkan nuraninya. Bak kata pepatah "Janganlah tongkat yang membawa rebah!"
Mau dan mampukah anda intelektual Indonesia? Semoga.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
8 comments:
Date: Mon, 26 Jul 2004 08:19:39 -0500
From: "Hadi, FX Nursalim"
Subject: RE: KETIKA KAUM INTELEKTUAL BERPESTA
Good material Eddy, Merci beaucoup!
Keep up the spirit...
From: Asnawi Manaf [mailto:asnawi2407@yahoo.com]
Sent: Monday, July 26, 2004 6:25 PM
To: LISI@yahoogroups.com
Subject: Re: [LISI] KETIKA KAUM INTELEKTUAL BERPESTA
Dear mas Eddy,
Tulisan yang menyentuh, saya bingung ketika sempat ketemu dengan beberapa kawan di Semarang yang untuk ukuran normal hidup pas-pasan, walaupun kualitas kinerjanya saya boleh akui bukan yang pas-pasan yang hendaknya dia dapatkan.
Ketika saya tawarkan untuk merubah cara pikir dia untuk masuk ke dunia penuh pesta dan bertanya apakah benar pilihan hiuspnya sekarang? Dia menolak pikiran saya dan menjawab "saya tidak tahu mungkin saya telah ditipu dengan falsafah hidup saya sendiri". Saya bingung dengan jawabannya, dia tahu betul enaknya berpesta tapi tidak tahu kenapa falsafah hidupnya telah menyebabkan pas-pasanlah yang dipilihnya.
Kasus ini sebetulnya bukan hal yang baru tentu saja, yang baru dan dinanti oleh mereka bukan reformasi tapi revolusi kali ya?
Salam manis,
ASNAWI
From: Indra J.Piliang [mailto:indrapiliang@csis.or.id]
Sent: Tuesday, July 27, 2004 11:30 AM
To: LISI@yahoogroups.com
Subject: Re: [LISI] KETIKA KAUM INTELEKTUAL BERPESTA
idiom yang digunakan mas eddy ini khas sekali. idiom yang saya kenal sedari kecil: janganlah tongkat membawa rebah, alur dan patut, etc. saya senang membaca artikel ini.
mungkin persoalannya adalah bagaimana kita mencoba untuk mendefenisikan kembali intelektual itu apa. sampai kini istilah ini tidak ada kesepakatan dari para intelektual sekalipun. lalu, apakah seorang inetelektual bisa dibebaskan dari teks yang dia bikin? apakah intelektual itu sebentuk jabatan moral, seperti ulama atau kyai atau pastor?
paparan mas eddy ini menunjukkan kegelisahan lama juga. dulu agus salim dituduh pro belanda, karena anak-anaknya dididik berbahasa belanda sejak kecil. m husni thamrin, yang sekarang jadi jalan thamrin, juga menempuh kehidupan intelektualnya di lembaga milik belanda. apakah mereka republiken?
seorang intelektual biasanya lebih terbuka, suka menepuk dada, ketimbang politisi licin dan licik. dan, bukankah era menepuk dada itu pantas disebut sebagai transparansi? denny memang berpihak, kelihatan sekali berpihak, tetapi yang penting adalah keberpihakan dia itu dinyatakan-ditulis dengan jelas atau samar-samar. beda dengan karakter intelektual lain atau birokrat yang menyatakan netral, tetapi di belakang layar melakukan operasi malam.
salam hangat,
ijp
-----Original Message-----
From: Asnawi Manaf [mailto:asnawi2407@yahoo.com]
Sent: Wednesday, July 28, 2004 6:28 PM
To: LISI@yahoogroups.com
Subject: RE: [LISI] KETIKA KAUM INTELEKTUAL BERPESTA
Sependapat dengan bung Lubis, Kebutuhan menusia itu tidak bisa diukur meskipun bukan berarti pak eddy keliru. Menurut saya yang masih ingin lari untuk menyalahkan mental dan moral (karena tidak bisa diatur oleh aturan melainkan urusan pribadi masing-masing) lebih melihat persoalan pada realitas sosial ekonomi yang sedang berjalan terutama di tanah air kemudian baru kita diskusikan langkah apa yang perlu diperbaiki secara sistemik. Saya tidak kuat menyalahkan orang tidak bermoral misalnya yang harus menguntil di supermarket karena alasan ingin mendapatkan kebahagiaan seperti tetangganya yang berlimpah harta tapi kerjaannya mencuri uang rakyat.
Juga akan sulit menyalahkan begitu orang berlomba-lomba mencuri uang rakyat atau berlaku curang karena dibenaknya hanya ada kalau tidak mencuri tidak ada lagi kesempatan untuk mempertahankan hidup di bumi tercinta ini.
Kalau kembali ke profesi dosen misalnya, saya sekarang bingung untuk masuk ITB, UI, UGM ukurannya adalah bukan lagi kecerdasan melainkan uang. Menyalahkan ITB, UI dan UGM juga simala kama ketika mereka tidak mau berbuat curang tapi untuk hidup butuh gaji besar maka mereka privatekan lembaga mereka.
Pertanyaan saya bukan pada hal moral disini, tapi apa fungsi pemerintah sebenarnya? Agar moral manusia itu bisa berfungsi? Kalau baca kebingungan logika yang di tulis bung Eddy disana jelas tergambar logika kita sekarang bolak balik...mbingungi...
Mari kita berhenti salahkan nurani, moral dan mental sejenak mari kita letakkan logika bernegara kembali secara jernih. Saya tidak berani berkata kalau ini terus menerus berlanjut class struggle from below akan semakin berkembang pesat dan mungkin saya salah satu penggerak didalamnya, meskipun sampai saat ini belum mengatakan revolusi ala marxis sebagai pilihan.
Sorry agak ngawur...sebab kelamaan merenung tapi tidak bisa buat apa-apa....
ASNAWI
-----Original Message-----
From: Andrinof Chaniago [mailto:andrinof@yahoo.com]
Sent: Wednesday, July 28, 2004 4:41 PM
To: LISI@yahoogroups.com
Subject: Re: [LISI] KETIKA KAUM INTELEKTUAL BERPESTA
Buat Bung Eddy, IJP, dll.,
Kita memang butuh mendefinisikan kembali sejumlah
istilah yang sering membuat rancu melihat peran
seseorang. Beberapa istilah itu adalah: Intelektual,
cendikiawan, ilmuwan, pengamat, kolumnis, peneliti,
akademisi, dan mungkin masih ada istilah lainnya. Dari
sini mungkin bisa melihat posisi kita atau posisi
orang lain yang kita perbincangkan.
Bagaimanapun, tulisan Bung Eddy juga telah memancing
kita untuk membicarakan sebutan-sebutan tersebut.
Selamat berkarya terus, Bung Eddy.
Andrinof
-----Original Message-----
From: nunk lubis [mailto:hrdlgsup@indosat.net.id]
Sent: Wednesday, July 28, 2004 5:16 PM
To: LISI@yahoogroups.com
Subject: RE: [LISI] KETIKA KAUM INTELEKTUAL BERPESTA
Pak Eddy,
Selama ini saya lebih banyak nonton di ruang milis ini soalnya rada
minder juga liat kepiawaian Bapak-2 semua. Saya suka salut baca tulisan
Bapak/Ibu anggota milis ini and terus terang udah banyak sekali nambah
wawasan saya. Saya ini kan bukan siapa-siapa and belon ada apa-apanya,
jadi agak keder juga mau sering-2 nimbrung. Tapi kali ini, saya
encourage myself buat comment daripada mengganjal di hati and jadi
penyakit.
Saya kok rasanya kurang begitu setuju dengan pendapat Pak Eddy bahwa
masalah utama KKN adalah rendahnya kesejahteraan PNS. Memang benar tapi
apa bias dijamin KKN hilang kalo gaji PNS naik semua?? Kok menurut saya,
itu hanya salah satu penyebab saja..penyebab yang paling utama sekali
adalah moral atau mental kita semua (bukan hanya PNS) karena banyak juga
KKN yang dibuat oleh swasta. Kita bias lihat fakta, apakah yang
melakukan KKN dengan jumlah besar itu adalah PNS yang bergaji kecil??
Berapalah nominal yang bias dikorupsi oleh PNS gol. 1 atau 2?? Kata ibu
saya, semakin banyak uang kita, semakin banyak keperluan dan kebutuhan
kita..jadi kalo gaji PNS dinaikkan, akan semakin besar pula nilai
korupsinya..karena keperluannya akan semakin banyak...yang tadinya bisa
sekolah di dalam negeri jadi pengen nyekolahin anak ke luar negeri, yang
tadinya gak pernah mikir mo liburan, jadi pengen plesiran...yang tadinya
bisa berobat ke klinik, jadi pengen berobat ke rumah sakit bintang
lima...gimana dong jadinya??
Sekedar tulisan ngawur dari inexperience girl.
Regards,
Nunk Lubis
-----Original Message-----
From: nunk lubis [mailto:hrdlgsup@indosat.net.id]
Sent: Wednesday, July 28, 2004 5:16 PM
To: LISI@yahoogroups.com
Subject: RE: [LISI] KETIKA KAUM INTELEKTUAL BERPESTA
Pak Eddy,
Selama ini saya lebih banyak nonton di ruang milis ini soalnya rada
minder juga liat kepiawaian Bapak-2 semua. Saya suka salut baca tulisan
Bapak/Ibu anggota milis ini and terus terang udah banyak sekali nambah
wawasan saya. Saya ini kan bukan siapa-siapa and belon ada apa-apanya,
jadi agak keder juga mau sering-2 nimbrung. Tapi kali ini, saya
encourage myself buat comment daripada mengganjal di hati and jadi
penyakit.
Saya kok rasanya kurang begitu setuju dengan pendapat Pak Eddy bahwa
masalah utama KKN adalah rendahnya kesejahteraan PNS. Memang benar tapi
apa bias dijamin KKN hilang kalo gaji PNS naik semua?? Kok menurut saya,
itu hanya salah satu penyebab saja..penyebab yang paling utama sekali
adalah moral atau mental kita semua (bukan hanya PNS) karena banyak juga
KKN yang dibuat oleh swasta. Kita bias lihat fakta, apakah yang
melakukan KKN dengan jumlah besar itu adalah PNS yang bergaji kecil??
Berapalah nominal yang bias dikorupsi oleh PNS gol. 1 atau 2?? Kata ibu
saya, semakin banyak uang kita, semakin banyak keperluan dan kebutuhan
kita..jadi kalo gaji PNS dinaikkan, akan semakin besar pula nilai
korupsinya..karena keperluannya akan semakin banyak...yang tadinya bisa
sekolah di dalam negeri jadi pengen nyekolahin anak ke luar negeri, yang
tadinya gak pernah mikir mo liburan, jadi pengen plesiran...yang tadinya
bisa berobat ke klinik, jadi pengen berobat ke rumah sakit bintang
lima...gimana dong jadinya??
Sekedar tulisan ngawur dari inexperience girl.
Regards,
Nunk Lubis
Tks semua, maaf baru buka lagi
Post a Comment