Monday, May 31, 2004

Dilema Penerapan UU Hak CIpta

Oleh: Ir. Eddy Satriya, MA *)
satriyaeddy@yahoo.com

Telah diterbitkan pada kolom Majalah Mingguan Masa 7 Oktober 2003

===Seri ICT-New Economy===

Ketika berlaku efektif sejak 29 Juli 2003 yang lalu, Undang Undang (UU) No. 19/2002 tentang Hak Cipta cukup membuat banyak pihak kalang kabut. Secara teoritis, semua langkah telah disiapkan oleh instansi terkait. Namun dalam prakteknya di lapangan banyak pekerja seni, pengusaha di berbagai bidang termasuk usaha kecil dan menengah (UKM) serta masyarakat umum dibuat “tersedak” dan menjadi was-was berusaha. Mereka terlihat gamang karena takut melanggar UU yang beresiko sanksi denda uang dan kurungan.

Namun jika diperhatikan dengan seksama setelah sebulan lebih efektif ternyata DVD, VCD dan CD bajakan masih ditemui di berbagai lapak di Jakarta seperti di Lebak Bulus, Blok M, kawasan perbelanjaan Mangga Dua dan Ratu Plaza, serta mesjid-mesjid yang menggelar pasar kaget seusai shalat Jum’at. Sementara itu pusat photocopy di berbagai pertokoan, universitas, serta sekolah tinggi lainnya masih saja menggandakan buku diktat kuliah dan text book seperti sediakala.

“Biar miskin asal sombong”. Itulah mungkin ungkapan yang dapat menggambarkan langkah yang harus diambil pemerintah melalui UU Hak Cipta untuk melindungi Hak Cipta dan Kekayaan Intelektual (HAKI) di era globalisasi ini. Mengapa demikian? Ada beberapa alasan. Pertama, Republik ini masih tergolong miskin dan sedang berkutat untuk bisa keluar dari krisis. GDP per capita yang masih berada di kisaran US$ 700.0 menjadi bukti. Kedua, sumber daya manusia (SDM) kita masih tertinggal. Laporan United Nation Development Programme (UNDP) 2003 yang memberikan Human Development Index sebesar 0.682 hanya menempatkan Indonesia di peringkat ke-112 dari 175 negara. Ketiga, angka pengangguran semakin membesar. Pidato Presiden Megawati bulan Agustus lalu menyebutkan bahwa pengangguran telah mencapai 40 juta orang. Keempat, biaya operasional untuk law enforcement bagi aparat kepolisian serta instansi terkait yang tersedia biasanya sangat terbatas. Kelima, produk ilegal seperti DVD, VCD, CD dan perangkat lunak sejenis masih dijual bebas di negara tetangga seperti di Lucky Plaza dan Little India di Singapura, wilayah Patpong dan Mabungkrak Mall di Bangkok, dan kawasan bisnis Makati di Manila. Terakhir, kemajuan di bidang telematika – bentuk konvergensi dari teknologi telekomunikasi, komputer dan multimedia – yang menjadi pemicu ekonomi baru telah membuka peluang yang nyaris tanpa batas untuk membajak karya orang lain. Kualitas hasil bajakan pun semakin sempurna.

Keenam alasan di atas secara terpisah ataupun jika bersinergi akan menjadi kekuatan besar yang dapat menghambat penegakan UU 19/2002 ini. Usaha melindungi HAKI tanpa prioritas yang disesuaikan dengan kondisi yang ada saat ini dapat merugikan ekonomi nasional serta memperlambat peningkatan kualitas dan daya saing SDM. Sebagai contoh, mahalnya harga perangkat lunak asli bisa menggiring sebagian UKM untuk gulung tikar karena tidak semua bentuk bisnis UKM telematika bisa otomatis bermigrasi ke platform yang open source. Usaha berupa Warung Telekomunikasi (wartel), Warung dan Kafe Internet (warnet), serta game center diperkirakan akan terimbas cukup signifikan. Kondisi ini sekaligus juga menjadi kendala dan biaya tambahan bagi upaya meningkatkan penggunaan komputer di sekolah dan masyarakat luas yang saat ini justru sedang digalakkan pemerintah.

Dalam kenyataannya, sulit dipungkiri bahwa bisnis lapak DVD, VCD dan CD telah memperkerjakan banyak orang. Sekedar ilustrasi, jika di satu lorong seperti tembusan Jalan Sabang ke Jalan Thamrin di Jakarta terdapat 20 lapak, dan jika untuk satu Kotamadya atau Ibukota Kabupaten secara rata-rata mempunyai 5 lokasi seperti di Jalan Sabang tersebut, maka satu kota mampu menyerap 150 tenaga kerja dengan asumsi satu lapak memperkerjakan rata-rata 1,5 orang. Dengan menggunakan data jumlah Kotamadya dan Kabupaten sesuai Keputusan Mendagri No. 5/2002 maka tenaga kerja yang terserap mencapai 60.000 orang. Jumlah ini belum termasuk tenaga kerja yang diserap di Jakarta, ibukota provinsi dan kota besar lainnya yang jika dijumlahkan bisa mencapai lima kali lipat untuk seluruh Indonesia. Jelas suatu jumlah yang cukup besar untuk menambah angka pengangguran jika mereka harus digusur dari lapak-lapak yang sejak krisis telah menjadi tempat menyambung hidup.

Di sisi lain kita juga harus memahami dan tidak bisa menutup mata terhadap kerja keras tanpa lelah dari seniman yang terus berjuang menegakkan rasa penghargaan terhadap karya cipta terutama lukisan, lagu dan film. Pembajakan telah merugikan mereka dan negara dalam jumlah yang tidak sedikit. Jelas ini suatu kondisi yang tidak mudah untuk dihadapi. Kiranya penerapan UU Hak Cipta ini dapat diwujudkan secara lebih bijaksana melalui penyusunan peraturan pelaksana seperti Keputusan Presiden, Peraturan Pemerintah ataupun Keputusan Menteri yang mendahulukan kepentingan nasional yang lebih besar. Partisipasi masyarakat sendiri sangatlah diharapkan agar peraturan pelaksana UU Hak Cipta yang diterbitkan nantinya tidak menggiring para pedagang lapak VCD ini berganti haluan menjadi pemegang kapak di lampu merah!
_____
*) Penulis adalah pemerhati masalah telematika dan new economy, tinggal di Sawangan-Depok.

No comments: