Monday, May 31, 2004

OTOKRITIK: MENGAPA TELEMATIKA INDONESIA MASIH TERPURUK?

Oleh:
Eddy Satriya (satriyaeddy@yahoo.com)
PNS biasa, pemerhati Telematika

Catatan: tulisan ini adalah personal unpublished paper yang dibuat sekitar Agustus 2002

Telah diterbitkan di Portal Ikatan Alumni ITB Bulan April 2003


===Seri ICT===

1. PENDAHULUAN

Perubahan tatanan ekonomi diberbagai belahan dunia yang utamanya dipicu oleh kemajuan-kemajuan di bidang Information and Communication Technology (ICT) atau dalam bahasa Indonesia saat ini lebih dikenal dengan istilah telematika telah membawa perkembangan baru dalam struktur industri telematika di banyak negara. Telematika didefinisikan sebagai bentuk konvergensi teknologi informasi (IT), telekomunikasi, multimedia dan penyiaran. Gelombang deregulasi, liberalisasi dan privatisasi yang dimulai sejak era tahun 1980-an telah banyak mempengaruhi regulator dan para pengambil keputusan dalam menata industri mereka. Beberapa negara anggota ASEAN telah mendeklarasikan visi mereka dalam persiapan pengembangan sektor telematika jangka panjang. Sebagai contoh Singapura telah menetapkan Singapore One, sementara itu Malaysia telah pula terkenal ke seluruh dunia dengan Malaysia Super Corridor nya.

Indonesia juga mengalami gelombang perubahan yang sama. Privatisasi dan deregulasi khususnya di subsektor telekomunikasi telah dimulai sejak awal tahun 1990-an. Jauh-jauh hari proses pembenahan dan restrukturisasi telah disusun dan dijalankan khususnya di lingkungan PT. Telkom dan PT. Indosat. Setelah berlaku efektifnya UU Telekomunikasi yang baru No.36 Tahun 1999, maka pasar telekomunikasi yang dulunya didominasi oleh PT. Telkom untuk penyelenggaraan jasa telekomunikasi dalam negeri dan PT. Indosat untuk sambungan internasional, sekarang telah terbuka bagi new entries. Jumlah Penyedia Jasa Internet (ISP) disisi lain, juga berkembang setiap tahunnya.

Namun demikian, pelayanan telekomunikasi nasional dan telematika secara umum dirasakan masih sangat tertinggal baik dari sisi penetrasi, kualitas dan jangkauan pelayanan. Demikian pula bagi sebahagian pelaku bisnis telematika, berbagai peraturan yang telah diterbitkan oleh pemerintah, dirasakan masih belum bisa memberdayakan sektor telematika yang sebenarnya mempunyai potensi sangat besar dalam memberikan kontribusinya untuk pembangunan nasional. Tulisan ini mencoba memaparkan sekilas permasalahan telematika Indonesia dan sekaligus mengajukan usulan langkah tindak lanjut guna perbaikan dalam waktu dekat.

2. STATUS TERAKHIR TELEMATIKA INDONESIA PRASARANA TELEMATIKA

Hingga akhir Juni 2002, jumlah sambungan telepon tetap yang beroperasi (lines in service) baru mencapai sekitar 7,5 juta satuan sambungan (ss) atau dengan tingkat kepadatan telepon 3,5 per 100 penduduk (PT. Telkom, 2002). Dengan tingkat kepadatan tersebut Indonesia tertinggal cukup jauh jika dibandingkan dengan beberapa negara tetangga seperti Malaysia yang pada akhir tahun 1999 saja telah mencapai kepadatan 20,3; Singapura 48,2; Thailand 8,6; dan Philippines 4,0. Negara kita hanya sedikit lebih baik jika dibandingkan dengan beberapa negara di Asia Tenggara lain seperti Vietnam yang mempunyai kepadatan 2,7; Laos 0,7 dan Myanmar 0,6 (World Bank, 2001).

Sementara itu jumlah sambungan telepon bergerak (mobile phones) diperkirakan juga berhasil mencapai angka 7 juta pelanggan. Tanpa disadari, sistem telepon bergerak telah menjadi solusi sementara bagi sebahagian masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan prasarana telekomunikasi. Diperkirakan jumlah sambungan telepon bergerak ini akan terus meningkat dan dalam waktu dekat akan mampu melewati jumlah sambungan telepon tetap (fixed lines). Hal tersebut dimungkinkan antara lain karena telah berjalannya kompetisi yang telah hampir mendekati ideal dalam penyelenggaraan jasa telepon bergerak dan relatif semakin murahnya biaya ekuivalen instalasi jaringan telepon bergerak per satuan sambungan dibandingkan dengan telepon tetap.

Terhambatnya pelaksanaan Kerja Sama Operasi antara PT.Telkom dan Mitranya dalam melakukan pembangunan dan operasional prasarana telekomunikasi di luar area Jakarta dan Surabaya maupun lambatnya perluasan jaringan pintar yang mampu meneruskan lalulintas telepon dengan kecepatan tinggi, juga mempengaruhi jumlah pelanggan dan pengguna jasa Internet. Sampai saat ini jumlah pelanggan Internet di Indonesia diperkirakan telah berjumlah 500 ribu pelanggan dengan total pengguna Internet sekitar 4 juta orang. Kebanyakan pengguna Internet memanfaatkan jaringan dan fasilitas Internet di perkantoran serta melalui warung Internet (Warnet). Sementara itu cakupan layanan fasilitas telekomunikasi hingga kwartal I tahun 2001 telah berhasil melayani 76 persen kecamatan dan 39,2 persen dari jumlah seluruh desa yang ada (Dephub, 2002).


REFORMASI SEKTORAL
Langkah-langkah kebijakan untuk reformasi sektor telekomunikasi berlandaskan kepada prinsip-prinsip reformasi nasional yang telah ditetapkan dalam TAP MPR. Kemudian langkah-langkah tersebut diformulasikan dalam Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000-2004 yang telah ditetapkan pula sebagai UU No. 25 tahun 2000. Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari prasarana dasar lainnya, maka pembangunan telematika dalam menghadapi situasi krisis diarahkan kepada usaha-usaha untuk (a) mempertahankan tingkat jasa pelayanan, (b) melanjutkan restrukturisasi dan reformasi serta (c) meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap jasa pelayanan sarana dan prasarana telematika.
Reformasi sektor telematika, khususnya telekomunikasi telah dipersiapkan cukup lama dan telah dilaksanakan secara serius sejak awal tahun 1999 sesuai Buku Cetak Biru Kebijakan Pemerintah tentang Telekomunikasi Indonesia yang diterbitkan Departemen Perhubungan maupun dengan diundangkannya UU baru Telekomunikasi No. 36 yang telah berlaku efektif sejak bulan September 2000. Adapun tujuan reformasi sektor antara lain adalah untuk meningkatkan kinerja sektor, melaksanakan transformasi struktur industri dari monopoli menjadi industri yang pro kompetisi, memfasilitasi pembukaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan, mendapatkan tambahan dana untuk pembangunan nasional melalui privatisasi, meningkatkan kerjasama dengan swasta lokal maupun asing, menyediakan dan memperbanyak akses publik terhadap jaringan telekomunikasi, serta meningkatkan transparansi dalam regulasi guna mengembalikan kepercayaan investor.
Berdasarkan Cetak Biru dan UU Telekomunikasi No.36, maka langkah-langkah kebijakan reformasi tersebut kemudian dituangkan kedalam beberapa program dan kegiatan-kegiatan utama. Pertama, mewujudkan reformasi sektor telekomunikasi pada tingkat makro yang dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan antara lain: menghapus monopoli; menghilangkan diskriminasi dan hambatan bagi partisipasi swasta dalam penyediaan jaringan dan layanan telekomunikasi; serta melakukan kajian ulang atas peran pemerintah.
Selanjutnya, membenahi kerangka regulasi atau peraturan perundangan sebagai prerequisite untuk industri telekomunikasi yang lebih baik. Hal ini dilaksanakan melalui berbagai kegiatan seperti: memperbaiki iklim bisnis telekomunikasi yang pro kepada kompetisi; memisahkan pelaksanaan operasi telekomunikasi dari proses pengambilan keputusan dan fungsi regulasi; memperhatikan faktor biaya dan mekanisme pasar dalam penentuan tarif, meningkatkan transparansi dalam proses pemberian lisensi; menghindarkan praktek diskriminasi berdasarkan kepemilikan (ownership); melaksanakan mekanisme interkoneksi antaroperator; menyiapkan aturan Universal Service Obligation (USO), memastikan operator menyediakan akses yang sama (equal access); meyakinkan dilaksanakannya standard dan teknologi internasional secara netral untuk peralatan; dan memberikan jaminan perlindungan kepada konsumen.
Ketiga, merestrukturisasi industri telekomunikasi melalui kegiatan-kegiatan: menghentikan pemisahan jasa telekomunikasi dasar dan non dasar; melaksanakan terminasi dini terhadap hak eklsusif operator yang ada saat ini; dan mempersiapkan suasana kompetisi penuh bagi berbagai jenis jasa pelayanan setelah 2010.
Terakhir, melaksanakan liberalisasi lingkungan berusaha yang dijalankan melalui kegiatan-kegiatan yang difokuskan kepada pembukaan pasar telekomunikasi dan penghapusan diskriminasi atas dasar kepemilikan negara dalam saham penyelenggara.

PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN DAN PERATURAN
Pelaksanaan pembangunan dan pengembangan telematika nasional juga memerlukan visi dan misi yang tepat serta berbagai langkah koordinasi yang melibatkan seluruh stakeholder. Untuk mendukung pelaksanaan pembangunan dan pemberdayaan telematika di Indonesia telah dibentuk organisasi dan berbagai perangkat pengaturannya. Pada tahun 1997 telah dibentuk pertama kalinya Tim Koordinasi Telematika Indonesia (TKTI) melalui Kepres No.37. Kemudian TKTI diperbaharui lagi keanggotaan, tugas dan fungsinya melalui Kepres No. 50 Tahun 2000, yang langsung diketuai oleh Wakil Presiden RI.
Di bawah koordinasi TKTI telah dihasilkan beberapa perangkat peraturan dan kerangka kerja telematika Indonesia. Pada Februari 2001, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) berkerja sama dengan Universitas Indonesia telah melaporkan hasil kerja pembuatan National Information Technology Framework (NITF) yang berisikan kerangka kerja dan acuan pengembangan telematika untuk tingkat nasional. Di dalam NITF diuraikan kembali visi, misi, tujuan, strategi dan kebijakan rencana pengembangan telematika nasional.
Pada bulan April 2001 juga telah diterbitkan Inpres No.6 yang berisikan instruksi presiden untuk pengembangan dan pendayagunaan telematika Indonesia. Isi pokok Inpres ini antara lain memberikan instruksi dalam menjadikan telematika untuk mempersatukan bangsa dan memberdayakan masyarakat; peranan telematika dalam dan untuk masyarakat; pentingnya infrstruktur informasi nasional; peningkatan sektor swasta dan iklim usaha; peningkatan kapasitas dan teknologi, petunjuk untuk melaksanakan Government Online, dan usaha-usaha untuk memperkuat TKTI. Sebelum Inpres ini juga telah diterbitkan Inpres No.1 dan No.2 tahun 2001 yang juga berkaitan dengan telematika, yaitu tentang penunjukkan kawasan Kemayoran sebagai pusat pengembangan telematika nasional dan tentang penyusunan operating system komputer berbahasa Indonesia.
Inpres 6 tahun 2001 telah dilengkapi dengan 75 program kerja sebagai rencana tindak lanjut (action plan) yang telah disusun secara bersama-sama yang melibatkan departemen terkait dan berbagai lapisan masyarakat telematika. Rencana tindak lanjut tersebut telah dikategorikan atas empat bidang yaitu kebijakan dan peraturan perundangan, pengembangan sumberdaya manusia, infrastruktur dan aplikasi telematika.
Pembangunan telematika memasuki proses kelembagaan yang sangat penting dengan diserahkannya pengelolaan dan pengembangan telematika kepada Kementrian Negara Komunikasi dan Informasi (Meneg Kominfo) dalam Kabinet Gotong Royong Presiden Megawati Soekarno Puteri. Perintah tersebut disampaikan Presiden dalam Sidang pertama Kabinet Gotong Royong setelah pelantikan personilnya. Pada saat ini Kantor Meneg Kominfo telah pula selesai menyusun personil mereka dan sedang menyiapkan beberapa program kerja baik untuk jangka panjang maupun untuk jangka pendek yang dinamakan dengan Program 100 Hari.
Sementara itu pihak swasta Indonesia baik yang dimotori oleh KADIN, koperasi maupun berbagai asosiasi di bidang telematika yang terkesan tidak mungkin menunggu kesiapan pemerintah telah mulai dan terus melaksanakan berbagai program dan kegiatan di bidangnya, baik berkerja sama dengan instansi pemerintah, universitas, sekolah maupun dengan berbagai Usaha Kecil Menengah (UKM). Juga tidak ketinggalan beberapa Pemerintah Daerah, yang kebetulan mempunyai pimpinan yang telah memahami potensi telematika, berhasil mengembangkan berbagai aplikasi telematika untuk meningkatkan pelayanan publik. Contoh keberhasilan Pemda yang sering diangkat dalam berbagai event telematika nasional maupun regional adalah Pemda Kabupaten Takalar di Sulawesi Selatan. Pemda Takalar berhasil memanfaatkan e-government yang telah mampu memberikan pelayanan satu atap yang prima bagi masyarakat dalam pengurusan KTP, SIM, Akte Kelahiran dan berbagai jenis pelayanan publik lainnya. Begitu pula langkah-langkah strategis pengembangan e-government telah dilaksanakan oleh Pemda Kabupaten Kutai Timur, Batam dan beberapa Pemda lain yang telah siap-siap dengan program andalan masing-masing.

3. PERMASALAHAN SEKTOR TELEMATIKA

Memperhatikan berbagai kondisi terakhir pengembangan telematika Indonesia seperti diuraikan di atas, tentulah menimbulkan pertanyaan mengapa telematika Indonesia relatif masih tertinggal dan terlambat kemajuannya. Sedangkan berbagai program reformasi sektor telematika yang telah disertai kegiatan-kegiatan pokok dan berbagai peraturan perundang-undangannya telah pula efektif. Pada pelaksanaan Pelita VI, subsektor telekomunikasi bahkan telah menjadi salah satu indikator keberhasilan kemajuan nasional dalam pengikutsertaan swasta membangun prasarana publik yang sangat diperlukan dalam pembangunan ekonomi nasional. Menjadikan kondisi ekonomi dunia dan ekonomi Indonesia yang masih dalam kabut krisis sebagai “kambing hitam” tentu bukanlah cara yang bijak untuk memperbaiki kondisi telematika di tanah air. Berikut ini diuraikan berbagai hambatan, maupun permasalahan yang diperkirakan telah mengganggu kelancaran pembangunan bidang telematika. Hal-hal tersebut antara lain adalah:

a) Berlarut-larutnya penyelesaian masalah Kerja Sama Operasi (KSO)

Kerjasama Operasi yang sempat dipuji-puji oleh berbagai organisasi tingkat dunia seperti Bank Dunia, ternyata telah benar-benar menjelma menjadi mimpi buruk bagi perkembangan telekomunikasi di tanah air. Seharusnya permasalahan KSO telah terpantau sejak awal karena sudah disediakan anggaran khusus untuk pemantauan kemajuan pelaksanaan KSO di kelima wilayah yang dikoordinir oleh Ditjen Postel. Niat baik PT.Telkom yang memahami kesulitan mitranya telah diwujudkan dengan melaksanakan revisi Memorandum of Understanding KSO melalui antara lain pengurangan jumlah sambungan telepon yang harus dibangun dari 2 juta ss menjadi hanya 1,2 juta ss, serta perubahan berbagai perjanjian tentang pembagian pendapatan dan penghasilan KSO, termasuk kewajiban untuk riset dan pengembangan serta pelaksanann Universal Service Obligation (USO). Namun niat baik saja dalam bisnis telekomunikasi ternyata tidaklah cukup. Ada perselisihan tajam dalam hal managemen yang tadinya dianggap sepele dan cenderung diabaikan ternyata menjadi masalah besar sekaligus pemicu sengketa yang sangat tidak sehat terutama sekali di wilayah Jawa Barat. Berbagai usaha telah dilakukan untuk “mendamaikan” pihak PT. Telkom dengan Mitranya. Tim penyelesaian permasalahan KSO ini telah dibentuk pada tahun 2001 yang beranggotakan pejabat teras dari Kantor Menko Perekonomian, Meneg BUMN, dan Ditjen Postel. Saat ini sengketa KSO telah mulai menuju penyelesaian untuk semua wilayah, meskipun diperkirakan masih menyimpan potensi konflik dan masalah pelik apabila menyangkut berbagai permasalahan detail.

b) Belum dijalankannya program reformasi secara konsisten

Kurangnya konsistensi dan keseriusan menjalankan program-program reformasi telekomunikasi tidak pelak lagi menjadi penyebab utama terjadinya berbagai permasalahan bisnis telekomunikasi. Kompetisi terlihat masih semu. Rencana pembentukan Badan Regulasi Mandiri (Independent Regulatory Body-IRB) dan beberapa item lain yang telah tertuang dalam LOI dengan Internatinal Monetary Fund masih jauh dari realisasinya. Berbagai kegiatan dalam program reformasi seperti diuraikan dalam bab terdahulu belum berjalan sebagaimana yang diharapkan dan tidak ada pemantauannya. Kesemuanya itu kembali menjadi penghalang bagi tumbuhnya iklim yang kondusif dan kompetitif bagi berbagai pihak swasta yang ingin berpartisipasi dalam bisnis telematika. Berubah-ubahnya peraturan dan tidak transparannya pemberian lisensi menjalankan bisnis Voice Over Internet Protocol (VOIP) dan permasalahan alokasi frekuensi 2,4 Ghz hanyalah beberapa contoh yang ada saat ini. Dihentikannya begitu saja rencana transaksi silang antara PT. Telkom dan PT. Indosat dalam rangka mencari solusi jangka panjang KSO untuk wilayah Jawa Tengah awal bulan Februari 2002, kiranya juga menunjukkan ketidakkonsistenan atau tidak profesionalnya pengambilan keputusan rencana besar yang telah cukup lama dikerjakan. Hal ini semakin menambah daftar panjang kebijakan yang berubah-ubah dari pemerintah tentang pengembangan telekomunikasi nasional.

c) Kurangnya koordinasi dengan instansi terkait

Setelah menurunnya kinerja pembangunan prasarana telekomunikasi dalam Pelita VI, sampai saat ini belum terlihat langkah-langkah efektif untuk menyelesaikan permasalahan keterbatasan penyediaan sambungan telepon. Sebagai perbandingan, selama Pelita V telah berhasil dicapai tingkat instalasi sentral telepon dengan kapasitas hampir 500.000 ss per tahun. Kemampuan instalasi tersebut tidak bisa dipertahankan apalagi ditingkatkan dalam kurun waktu Pelita VI. Pencapaian sasaran pembangunan kapasitas telepon secara kebetulan tertolong oleh komitmen-komitmen negara donor yang telah disepakati dimasa-masa akhir Pelita V. Dalam suatu pertemuan Masyarakat Telekomunikasi Indonesia bulan Februari 2002 yang lalu, Menteri Perhubungan menyatakan bahwa pemerintah telah mentargetkan pembangunan telepon tetap sebanyak 4 juta ss sampai tahun 2005 dengan rincian PT. Telkom berkewajiban membangun sebanyak 1,9 juta ss, PT. Indosat sebanyak 1,6 juta ss dan sisanya oleh operator lain. Sayangnya rencana lebih detil tentang distribusi pembangunan per propinsi, jenis sentral atau paketnya, rencana instalasi tahunan, dan sumber pembiayaan belum tersedia. Juga belum terlihat rencana penggelaran jaringan kabel dan fasilitas transmisi yang sangat vital guna menunjang kesuksesan rencana tersebut. Dengan kata lain rencana pembangunan ini kurang dikoordinasikan dengan berbagai instansi terkait. Lagi pula dengan dijalankannya otonomi daerah, diperkirakan masih akan timbul berbagai kendala karena adanya ketidakseragaman peraturan daerah, seperti aturan galian dan pengurukan tanah.

d) Kurangnya awareness terhadap potensi telematika sebagai salah satu penggerak roda ekonomi

Bidang telematika di banyak negara berkembang ataupun hampir semua negara maju telah jauh-jauh hari disadari sebagai salah satu sektor potensial dalam menggerakkan ekonomi suatu bangsa. Gejala ini belum menjadi kenyataan di Indonesia. Hal ini tercermin dari masih kecilnya belanja telematika sebagai persentase dari GDP total. Untuk Indonesia, belanja telematika baru mencapai 1,4 % dari total GDP. Sementara itu Malaysia telah mencapai 5,2 %; Phillipines 2,71 %; Singpura 7,7 %; Vietnam 7,4 %; Thailand 2,13%; Amerika Serikat 8,87 %; dan Jepang 7,6 % (World Bank, 2001). Secara kelembagaan juga dapat dirasakan dengan masih belum adanya suatu departemen teknis yang ditugasi untuk mengelola sekaligus secara terintegrasi bertanggung jawab terhadap pengembangan telematika nasional.

e) Terlambatnya penyusunan peraturan pelaksanaan UU Telekomunikasi No 36/1999

Berbagai peraturan pelaksanaan UU telekomuniasi seperti Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Menteri (Kepmen) maupun Keputusan Dirjen (Kepdirjen) yang telah direncanakan tidak berhasil dirampungkan tepat waktu. Hanya beberapa PP dan Kepmen saja yang berhasil direalisasikan hingga saat ini. PP dan Kepmen yang ada pun masih dirasakan bermasalah oleh banyak pelaku bisnis telematika. Bahkan sering terdengar beberapa pelaku bisnis telematika sudah menghendaki revisi UU Telekomunikasi No.36 tahun 1999 pada beberapa bagian.

f) Kenaikan tarif yang tidak disertai alasan yang meyakinkan

Dinaikkannya tarif telekomunikasi yang telah tertunda-tunda pada saat yang tidak tepat semakin menambah ketidakpercayaan masyarakat terhadap otoritas telekomunikasi. Di dalam berbagai diskusi diketahui bahwa kenaikan tarif sangat diperlukan untuk menambah dana pembangunan prasarana telekomunikasi. Padahal masyarakat telematika menyaksikan kedua “raksasa” telekomunikasi Indonesia, yaitu PT. Telkom dan PT. Indosat masih untung cukup besar dan ironisnya akhir-akhir ini mengucurkan triliunan Rupiah guna mempersiapkan diri menghadapi persaingan di bisnis multimedia dan telepon bergerak dimasa datang (bukan bisnis inti mereka pada saat ini).

Sangatlah janggal menyaksikan Dirjen Postel dan Menteri Perhubungan yang menyatakan bahwa sektor telekomunikasi sejak tahun 1985 tidak lagi mendapatkan APBN sebagai salah satu alasan atau pertimbangan untuk menaikkan tarif. Padahal sukses pembangunan fasilitas telekomunikasi yang antara lain telah berhasil melaksanakan otomatisasi sentral telepon untuk seluruh ibukota kabupaten atau kotamadya pada kurun waktu Pelita VI, pada dasarnya ditunjang oleh Pinjaman Luar Negeri yang merupakan komponen RAPBN bersama-sama dengan komponen rupiah murni. Artinya, walaupun hutang pinjaman tersebut telah di “two-step-loan” kan ke PT. Telkom, resiko pinjaman antar pemerintah (G to G) dalam valuta asing masih ditanggung oleh pemerintah Indonesia (baca: rakyat Indonesia). Padahal jika merujuk kepada program reformasi sektoral, terlihat bahwa kenaikan tarif haruslah berdasarkan kepada cost of production dan mekanisme pasar.

g) Terputus-putusnya pengelolaan TKTI

Tim Koordinasi Telematika Indonesia telah mengalami empat kali pergantian kepala negara dan hampir sepuluh kali perubahan struktur kabinet sejak dibentuk melalui Kepres No.30 tahun 1997 oleh Presiden Soeharto. Walaupun telah diperbaharui keanggotaan, tugas dan fungsinya melalui Kepres No. 50 tahun 2000 dan telah cukup banyak kemajuan yang dicapai TKTI, kepengurusan TKTI susungguhnya “ terombang-ambing” dari satu kantor ke kantor lain tergantung personil kunci yang ditugasi mengelolanya. TKTI memulai perjalanannya dari Kantor Menteri Koordinator Produksi dan Distribusi (Menko Prodis) dizaman orde baru. Kemudian pembangunan telematika diatur dari Kantor Menteri Koordinasi Ekonomi Keuangan dan Pengawasan Pembangunan (Menko Ekuwasbangpan). Selanjutnya pada masa awal kerja Kabinet Pembangunan VII, TKTI diurus dari Kantor Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan dan Industri (Menko Ekuin). Pada era Presiden Abdurahman Wahid yang memperbaharui Kepres pembentukan TKTI, pengelolaan TKTI lebih banyak diatur dari Kantor Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Meneg PAN). Demikian pula di bawah kepemimpinan Presiden Megawati, TKTI dikendalikan dari Kantor Kementrian Negara Komunikasi dan Informasi (Meneg Kominfo). Saat ini kelihatannya ada pula rencana untuk “menyempurnakan” organisasi TKTI. Kesemuanya itu tentulah akan berdampak terhadap kinerja sektor telematika karena seringnya terjadi transisi pengelolaan. Sedangkan bisnis telematika membutuhkan penanganan yang konsisten namun harus dilaksanakan dengan cepat sesuai tuntutan teknologi.

5. USULAN LANGKAH PERBAIKAN KONDISI TELEMATIKA

Memperhatikan tantangan dan peluang yang dapat diberikan oleh sektor telematika dalam pembangunan, kondisi terakhir telematika dan berbagai permasalahan baru yang semakin menumpuk di atas permasalahan lama, berikut ini diusulkan langkah-langkah yang diharapkan mampu memulai perbaikan disektor telekomunikasi. Perbaikan diharapkan dapat terlaksana secara bertahap, konsisten namun menyeluruh. Langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut:

a) Persoalan Kerjasama Operasi (KSO)

Setelah terlebih dahulu didiskusikan dan dibahas secara mendalam dengan departemen dan instansi terkait, diusulkan kepada pemerintah agar menegaskan posisinya dalam suatu rencana jangka panjang penyelesaian KSO dan menjelaskan status KSO untuk kelima wilayah secara transparan. Pemerintah bisa saja hands off , mengingat perjanjian kontrak KSO memang antar PT. Telkom dan Mitranya. Erat kaitannya dengan KSO ini adalah status terminasi dini hak eklsusivitas pembangunan prasarana telekomunikasi yang telah diberikan pemerintah kepada PT. Telkom dan PT. Indosat. Hal ini sangat diperlukan dunia bisnis telematika, khususnya telekomunikasi. Diharapkan jika sudah ada kejelasan atas kedua hal tersebut, secara paralel bisa dipikirkan skema investasi transisi dalam rangka penambahan dan perluasan jaringan telekomunikasi, misalnya dengan berbagai varian Pola Bagi Hasil (PBH) yang telah dimodifikasi sebagaimana dijalankan PT. Telkom sebelum masa KSO.

b) Pelaksanaan program-program reformasi subsektor telekomunikasi

Perlu secepat mungkin mengidentifikasi ulang program-program reformasi yang sudah dan belum berhasil dilaksanakan sesuai ketentuan dalam Cetak Biru dan UU telekomunikasi No. 36 tahun 1999. Selanjutnya dibuatkan urutan prioritas kegiatan yang harus dilaksanakan segera dalam jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Menumpuknya berbagai masalah kebijakan dan peraturan perundangan akan semakin mempersulit keadaan dunia bisnis telematika.

c) Koordinasi dengan instansi terkait

Dengan tidak suskesnya skema KSO, tidak ada salahnya Departemen Perhubungan kembali membahas ulang rencana pembangunan sambungan telepon baru yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia ini dengan instansi terkait serta berbagai asosiasi yang terlibat dalam bisnis telematika. Kiranya masukan dari berbagai sumber akan dapat menyempurnakan target pembangunan per subsistem, distribusi per propinsi, jadwal instalasi tahunan dan keperluan pendanaan. Perlu juga ditetapkan strategi penambahan kapasitas telepon, apakah harus mengikuti trend kepadatan telepon internasional, regional di Asia Tenggara atau berdasarkan ketersediaan dana pembangunan.

d) Awareness terhadap peran dan potensi telematika dalam pembangunan ekonomi nasional

Diusulkan pula untuk melaksanakan semacam kampanye tentang potensi telematika dalam konteks pembangunan nasional. Hal ini telah dimulai diberbagai negara berkembang seperti Malaysia, Phillipines dan Thailand. Cakupan aplikasi telematika yang sangat luas seperti bidang kesehatan, pendidikan, potensi untuk mengurangi KKN dan kemungkinan untuk pengurangan kemiskinan masih sangat minim dipahami oleh para pengambil keputusan di tingkat pusat. Sejalan dengan itu juga ada baiknya dimulai budaya telematika bagi kantor atau instansi yang telah mempunyai fasilitas seperti penulisan memo dan undangan rapat yang cukup dilakukan melalui email.

e) Penyelesaian Peraturaan Pelaksana UU Telekomunikasi

Dep. Perhubungan sebaiknya juga memfokuskan diri pada percepatan penyelesaian berbagai peraturan pelaksana UU Telekomunikasi yang masih tersendat. Penyusunan tersebut juga sedapat mungkin mengikutsertakan berbagai kalangan dari bisnis telematika.

f) Penyusunan Tarif Telekomunikasi

Penyusunan tarif telekomunikasi hendaknya mulai dilakukan berdasarkan biaya dan mekanisme pasar sesuai ketentuan yang ada dalam Buku Cetak Biru yang masih relevan dengan situasi saat ini. Hasil bantuan teknik Bank Dunia untuk penelitian tarif melalu Proyek ABC (Activity Based Cost) yang dilaksanakan PT. Telkom sebaiknya mulai didesiminasikan ke berbagai instansi terkait. Tentunya juga relevan mendiskusikan masalah komposisi pembagian keuntungan perusahaan yang memang harus diserahkan kepada pemegang saham BUMN telematika dan porsi yang harus dikembalikan untuk pembangunan dalam penyusunan rencana strategis pembangunan telematika nasional. Juga perlu dikaji ulang oleh Dep. Keuangan apakah sebuah BUMN yang telah IPO atau menjadi perusahaan terbuka masih dapat menikmati pinjaman lunak dari negara donor yang dijaminkan pemerintah (G to G).

g) Tim Koordinasi Telematika Indonesia

Rencana pengembangan telematika Indonesia secara nasional sebaiknya diperjelas melalui penetapan bentuk dan pengelolaan TKTI. Mengingat pentingnya peranan TKTI dalam pengembangan telematika nasional, rencana induk pengembangan telematika nasional sudah dapat dimulai dengan menggunakan berbagai bahan yang tersedia seperti National IT Framework yang telah diserahkan kepada TKTI. Saat ini pemerintah melalui TKTI sedang menyusun rencana induk pengembangan government online.

6. KESIMPULAN

Memperhatikan pembahasan telematika dari pendahuluan hingga usulan perbaikan pembangunan telematika, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

a) Mengingat masih rendahnya penetrasi, pasar yang besar dan cakupan wilayah pelayanan jasa telematika yang masih terbatas, maka perkembangan telematika nasional untuk kurun waktu 5 tahun mendatang ini tentulah masih sangat potensial. Namun demikian penambahan kapasitas telematika termasuk telepon sebaiknya memperhatikan perkembangan dan pertumbuhan ekonomi nasional (GDP per capita).

b) Posisi pemerintah Indonesia dan rencana jangka panjang penyelesaian KSO hendaklah secepat mungkin diumumkan secara lengkap dan transparan;

c) Program-program reformasi telekomunikasi sebagai syarat utama pemulihan bisnis telematika di Indonesia sebaiknya dilaksanakan secara konsisten dan dilembagakan dalam rencana strategis sektoral maupun dalam Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta) yang disusun setiap tahun oleh Departemen Teknis terkait.

d) Departemen Perhubungan sebaiknya segera meningkatkan kerjasama dan koordinasi pembangunan telematika dengan berbagai instansi terkait, terutama dalam penysusunan program-program pembangunan yang merupakan keperintisan dan tidak quick yielding.

e) Perlu diadakan semacam kampanye untuk meningkatkan awareness terhadap potensi telematika dalam pembangunan nasional terutama bagi kalangan birokrasi, baik tingkat pusat maupun di daerah.

f) Pengembangan telematika dimasa datang hendaklah melibatkan peran masyarakat dan praktisi telematika (ICT proffessional) secara lebih intensif.

Selanjutnya, sudah sepantasnya pula kita menyatukan niat dan tindakan untuk memajukan telematika nasional tanpa memperbesar perasaan bahwa kitalah yang paling benar sementara orang lain menjadi bagian permasalahan. Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Esa memberikan bagian solusi krisis nasional melalui telematika. Amin.

__________


No comments: