Friday, May 28, 2004

Divestasi Indosat: Pelajaran atau Musibah?

Oleh: Eddy Satriya *)


Telah di terbitkan pada Harian Umum Suara Karya tanggal 21 Februari 2003 hal V


Seperti sudah diperkiraan banyak orang, gonjang ganjing divestasi 41,94 % saham atau 434,25 juta lembar saham pemerintah di PT. Indosat Tbk dengan nilai Rp 5,62 triliun pada akhir tahun 2002 lalu secara perlahan mulai tenggelam di tengah hiruk pikuk berbagai persoalan bangsa lainnya. Protes dan ketidakpuasan dari berbagai lapisan masyarakat yang ditujukan kepada jajaran Menteri Negara BUMN telah dijawab dengan sikap tegar diiringi alasan yang meyakinkan ala Laksamana Sukardi selaku Menteri Negara yang mengurusi sekitar 160-an BUMN di republik ini.

Namun ribut-ribut divestasi Indosat ini diperkirakan akan segera menghangat kembali setelah dimulainya proses pemanggilan dan pemeriksaan terhadap pihak-pihak terkait dalam kasus pencemaran nama baik Laksamana Sukardi, juga pemeriksaan atas Dirut Indosat sehubungan dengan pengaduan dugaan tindakan pidana penyelewengan penjualan saham oleh Indonesian Telecommunication Watch (ITW). Bahkan mantan Presiden Gus Dur kembali “menghangatkan” suasana dengan pernyataan bahwa Indosat ternyata dijual ke Israel (Pembaruan,25/1/03). Sementara itu Serikat Pekerja (SP) Indosat di berbagai daerah masih tetap mengancam akan terus melaksanakan berbagai aksi sampai tuntutan mereka yaitu pembatalan transaksi saham Indosat dikabulkan.

Memperhatikan perkembangan terkini, rasanya peluang untuk membatalkan transaksi saham tersebut tidaklah terlalu besar, karena tentu saja akan berurusan dengan badan arbitrase internasional yang diperkirakan akan memakan waktu lama serta menghabiskan dana yang tidak sedikit pula.

Setelah proses divestasi terlaksana, lalu pelajaran apa yang dapat ditarik oleh bangsa Indonesia terutama sektor telekomunikasi untuk masa yang akan datang? Nyaris tidak banyak pelajaran dan hikmah, sebaiknya kita sebut saja sanksi atau musibah. Pertama, rakyat Indonesia dipastikan akan semakin lama memperoleh tambahan sambungan telepon tetap dalam jumlah yang memadai. Bukan hanya untuk daerah industri dan berbagai kota besar yang telah lama menunggu, tetapi juga bagi masyarakat yang berada di daerah perdesaan, perbatasan, kawasan terpencil dan daerah yang tidak quick yielding. Dengan masuknya Singapore Technologies Telemedia (STT) yang tidak “melirik” bisnis telepon tetap, PT. Indosat telah ber-reinkarnasi menjadi perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) yang sekaligus menggugurkan keharusannya sebagai agent of development seperti disaat menyandang status BUMN. Berkurangnya pembangunan sambungan telepon tetap, berarti juga mengurangi investasi dan aktivitas ekonomi di sektor terkait seperti penyediaan kabel telepon, pembangunan gedung dan sarana penunjang, penambahan kapasitas transmisi, pekerjaan konstruksi menara, jasa konsultan dan pengawas, serta penyerapan tenaga kerja kasar untuk galian maupun penarikan kabel telepon yang padat karya.

Kedua, tertundanya proses kompetisi dalam penyediaan dan pelayanan jasa telepon tetap. Hal ini tentu tidak bisa dielakkan, sebab pada tataran praktis PT. Telkom untuk sementara waktu kembali memonopoli penyelenggaraan jasa telepon tetap. Karena monopoli tidak pernah ingkar janji, maka masyarakat diperkirakan masih harus membayar tarif jasa telekomunikasi dengan harga yang relatif tinggi dibandingkan dengan kemampuan dan daya beli masyarakat saat ini.

Selanjutnya, dikhawatirkan akan terjadi peristiwa “KSO babak II”. Perbedaan budaya antara pegawai Indosat dengan personil baru dari STT tentu berpotensi terhadap terjadinya benturan budaya kerja. Kecemburuan dari pegawai atau pimpinan lama terhadap berbagai hal tentulah tidak mudah untuk diabaikan begitu saja. Di sisi lain, wajar pula jika pihak STT melalui tambahan beberapa pos direksi baru berupaya mengamankan investasi mereka dengan menempatkan orang-orangnya. Sebagai sebuah perusahaan yang bertaraf internasional, maka personil yang ditempatkan bisa saja berasal dari berbagai kebangsaan. Celakanya, dari pengalaman KSO (Kerja Sama Operasi) antara PT. Telkom dan mitranya diketahui bahwa para pekerja asing tidak selalu lebih baik dibanding pekerja lokal.

Keempat, maraknya gelombang demonstrasi, pemogokan dan berbagai bentuk ancaman lainnya dari pegawai yang tergabung dalam SP Indosat tentu juga akan merugikan ekonomi nasional. Berbagai buku teks Labor Economics telah mengajarkan bahwa dalam suatu aksi pemogokan atau strike, selain pengguna jasa yang setia maka kedua pihak yakni pekerja dan pemilik perusahaan juga akan mengalami kerugian. Disamping itu, aksi jalanan dan demonstrasi biasanya sangat sensitif dan mudah direkayasa menjadi berbagai varian yang dapat memperkeruh suasana dan menghambat proses reformasi nasional.

Terakhir, dengan berubahnya status Indosat menjadi PMA tentu saja mempengaruhi posisi PT. Telkom, sebagai satu-satunya penyelenggara telekomunikasi milik pemerintah, dalam menjalankan fungsi agent of development. PT. Telkom semakin mempunyai alasan yang kuat untuk melepaskan diri dari Universal Service Obligation (USO), yaitu kewajiban menyediakan pelayanan universal. Akibatnya pemerintah harus melaksanakan pembangunan prasarana telekomunikasi di daerah USO dengan menggunakan RAPBN, RAPBD dan dana lainnya dengan dalih telekomunikasi perdesaan yang sebenarnya tidak selalu identik dengan USO. Sedangkan RAPBN, khususnya komponen rupiah murni saat ini sangat dibutuhkan oleh berbagai sektor sosial ekonomi lainnya seperti pendidikan dan kesehatan untuk membantu rakyat kecil agar cepat terbebas dari himpitan krisis ekonomi yang semakin berat.
***

Tindakan yang harus dilakukan untuk mengurangi dampak divestasi ini? Ada beberapa langkah yang harus segera diambil. Pertama, secara transparan pemerintah hendaklah menegaskan kembali kewajiban PT. Telkom dan PT. Indosat untuk membangun dan meningkatkan kapasitas telepon tetap. Dari berbagai media masa diketahui beredar banyak versi kewajiban untuk membangun telepon tetap, baik oleh Telkom maupun Indosat. Dalam rapat kerja Masyarakat Telematika (Mastel) pada bulan Februari 2002 yang lalu di Jakarta, Menteri Perhubungan secara resmi telah mentargetkan pembangunan telepon tetap sebesar 4 juta satuan sambungan (s.s.) hingga tahun 2005. Sebanyak 1,9 juta s.s. diwajibkan kepada Telkom, 1,6 juta s.s. kepada Indosat dan sisanya oleh operator lain yang belum ditetapkan hingga kini. Angka-angka tersebut kelihatannya telah mengalami perubahan, namun tidak jelas aturan perubahannya dan berapa kewajiban akhir masing-masing pihak untuk membangun sampai tahun tertentu. Diharapkan dengan ditetapkannya target, pelaksana, dan skema pembangunan, maka penetrasi telepon tetap dapat ditingkatkan secara lebih cepat.

Kedua, mengundang secepat mungkin kompetitor baru yang independen terhadap Telkom dan Indosat dalam penyediaan dan penyelenggaraan jasa telekomunikasi tetap. Hal ini dirasakan sangat mendesak untuk menciptakan kompetisi yang sehat dan untuk memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Undang-Undang No. 36/1999 tentang Telekomunikasi telah mendorong kearah kompetisi. Namun setelah berlaku efektif selama 2 tahun lebih, kompetisi jasa telepon tetap masih merupakan mimpi dan terasa semu. Pelayanan jasa telekomunikasi terasa semakin memburuk. Aturan interkoneksi yang sangat dibutuhkan pelaku bisnis masih belum tuntas. Telepon darurat seperti untuk keamanan (110), ambulan (118), kebakaran (113), dan PLN (123) jika diakses dari sistem telekomunikasi bergerak (STB) akan tulalit. Begitu pula beberapa nomor toll free (0 800). Expatriat asing banyak mengeluhkan buruknya layanan telekomunikasi yang berbuntut kepada biaya tinggi. Hal-hal tersebut di atas hanyalah beberapa contoh kasus yang sering diabaikan oleh operator maupun regulator. Kompetisi secara alamiah akan menguntungkan pelanggan, sebagaimana telah dicontohkan dalam bisnis STB dan angkutan udara.

Langkah berikutnya adalah memulai sosialisasi akan terjadinya interaksi berbagai budaya kerja dalam Indosat yang sekarang kembali menjadi perusahaan multinasional di Indonesia. Langkah ini cukup penting dan tidaklah dapat dianggap sepele mengingat sumber daya manusia (SDM) Indosat selama ini lebih banyak berkerja untuk menghasilkan keuntungan bagi perusahaan serta menjadi manager atau direktur diberbagai anak perusahaannya. Pengamatan saya menunjukkan bahwa SDM Indosat agak tertinggal dalam jenjang pendidikan tingkat Strata-2 (S-2) dan S-3, terutama lulusan universitas berkualitas di luar negeri. Indosat termasuk BUMN besar yang minim menyekolahkan karyawannya ke luar negeri.

Keempat, sebaiknya pemerintah dan pimpinan Indosat sesegera mungkin mengadakan pendekatan yang simpatik kepada karyawan pendemo untuk mencari cara-cara yang elegan guna menampung aspirasi karyawan. Komunikasi sangat diperlukan dalam kondisi seperti sekarang ini. Alangkah baiknya jika manajemen Indosat mengintensifkan diskusi dengan karyawan, lalu mensosialisasikan rencana jangka menengah dan jangka panjang perusahaan.

Terakhir, Departemen Perhubungan sebaiknya terus melaksanakan kajian yang mendalam sebelum mengeluarkan Keputusan Menteri atau Peraturan Pemerintah tentang USO. Kiranya harus dikaji secara seksama siapa sebaiknya yang membiayai USO; apakah pemerintah, operator melalui penjualan izin operasi atau pelanggan melalui pengenaan pajak tertentu atas jenis jasa yang digunakannya. Efisiensi hendaklah menjadi faktor pertimbangan yang utama. Perlu juga dikaji mekanisme pengoperasian dan pemeliharaan USO jika harus ditunjuk suatu badan usaha. Alangkah baiknya jika Dephub juga bisa memulai secara transparan menginformasikan sudah berapa banyak dana USO yang terkumpul hingga saat ini, jika ada, dan bagaimana pengelolaannya.
***

Meskipun telah cukup banyak sanksi dan musibah bagi rakyat Indonesia dengan adanya kasus divestasi Indosat ini, tentu sebaiknya kita juga memperhatikan beberapa pelajaran yang sangat berguna. “Alam takambang” sebaiknya memang dijadikan guru. Pertama, menjadi hal yang mendesak kiranya untuk menetapkan suatu grand scenario pembinaan dan arah yang ingin dituju dalam
pengelolaan BUMN kita.

Kedua, adalah penting memperhatikan kesiapan masyarakat untuk menerima suatu hal yang baru baik hal teknis maupun praktek bisnis. Kasus Special Purchase Vehicle (SPV) yang banyak diributkan orang adalah contoh kurangnya sosialisasi dan transparansi bagi masyarakat. Selanjutnya, dalam kemampuan keuangan yang terbatas, tentu saja pilihan buy back atau buy out seperti yang dilakukan PT. Telkom terhadap beberapa mitranya sebaiknya dihindari.

Terakhir, sebaiknya kita tetap optimis karena dari berbagai pembahasan baik melalui seminar, opini maupun talk show diketahui bahwa Indonesia ternyata memiliki banyak ahli telekomunikasi dan mempunyai berbagai lembaga dengan analisis canggih dari berbagai sudut pandang. Walaupun terkadang terasa membingungkan.
________
*) Mantan Konsultan PT.Telkom Periode Pelita IV, sekarang berkerja di Bappenas.

No comments: