Tuesday, June 01, 2004

INDONESIA YANG MEMUSINGKAN (seri tulisan reformasi)


Oleh: Eddy Satriya, MA *)
Email: satriyaeddy@yahoo.com; esatriya@bappenas.go.id

Catatan: Telah diterbitkan di Majalah Forum Keadilan No. 26 Edisi 2 November 2003

================================================
“..Aku pusing lagi,
entah kenapa ku pusing lagi.
Kalau terus begini,
bagaimanakah Indonesia nanti?…”


Jika anda mendendangkan bait di atas beberapa kali dengan irama lagu kampanye anti narkoba seperti yang sering ditayangkan stasiun radio dan televisi (TV), niscaya anda akan pusing “beneran”. Terlebih lagi kalau bait tersebut digumamkan pemimpin sebuah negara berkekayaan alam melimpah namun masih tergolong miskin dengan income per capita dibawah US$ 800.0. Kepusingan itu akan makin terasa ketika mengurus negara dimana korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) nya telah merasuk kemana-mana. Pelayanan prasarana dasar, termasuk pendidikan dan kesehatan, masih rendah mutunya. Ancaman disintegrasi, bencana alam, banjir dan kekeringan silih berganti mengintai di berbagai wilayah persada. Eforia demokrasi dan otonomi nyaris mematikan nalar para elite pimpinan. Sementara siswa tawuran, mahasiswa melanjutkan dengan menyiksa yuniornya hingga patah tulang rusuk, atau sampai mati if necessary. Tak ketinggalan sesama dosen pun saling silang hingga kena jotos di kampus mereka. Sedangkan pers yang sedang menikmati kebebasan tanpa batas harus bersiap-siap “adu panco” dengan aksi premanisme.

Di sisi lain tayangan seputar goyang dan pusar, dunia selebriti, seks, kisah misteri, serta kekerasan terus dikemas sedemikian rupa sehingga meninabobokkan pemirsanya menit demi menit. Angka pengangguran secara perlahan namun pasti merayap naik ke tingkat 40 juta. Sungguh semuanya itu patut membuat pusing pemimpinnya.
Dalam situasi demikian, ada baiknya kita cermati plesetan ungkapan pakar managemen dunia Peter F. Drucker. “ Jika kapalmu akan tenggelam, jangan katakan aku pusing, tapi berikanlah komando!” Komando atau perintah memang tidaklah mudah diberikan jika tidak diketahui persis masalah sebenarnya dan sasaran yang dituju. Andai masalah sebenarnya sudah diketahui pun, maka perintah juga tidak akan efisien dan tepat sasaran jika tidak bisa menentukan prioritas. Pada hakikatnya, makna prioritas inilah yang semakin samar dalam program pembangunan nasional dewasa ini. APBN, termasuk utang luar negeri, tahun demi tahun tetap “dihamburkan” dalam jumlah yang secara umum terus bertambah. Namun hasil yang diperoleh ternyata mengikuti teori ekonomi diminishing return seperti dikeluhkan Sang Kepala Negara.

Sudah saatnya semua komponen bangsa membantu merumuskan “resep” obat anti pusing. Sayangnya para elite pimpinan malah semakin menjauh dan terkesan ingin “cuci tangan”. Berikut ini diusulkan beberapa “komando” yang selayaknya segera diberikan. Walaupun terlambat, mudah-mudahan masih bisa selamat.
Pertama, pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) harus menjadi prioritas utama. Dari berbagai diskusi, seminar dan pembicaraan disegala tingkatan terlihat bahwa memang KKN haruslah dijadikan musuh utama untuk diberantas secara serius dan konsisten. Kedua, segera melegalkan “delta salary” atau tambahan pendapatan yang selama ini diperoleh birokrat melalui cara-cara KKN yang didukung oleh semua pihak. Dengan kata lain, segera naikkan gaji dan tunjangan resmi PNS sebagaimana telah dimulai di zaman pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gusdur). Ketiga, menetapkan hanya satu atau maksimal dua program prioritas untuk setiap kementerian dan lembaga pemerintah non departemen (LPND) lainnya untuk dibiayai dari RAPBN. Pembangunan baru diluar program prioritas diusulkan untuk ditunda. Dana pembangunan sebaiknya hanya digunakan untuk rehabilitasi, operasi dan pemeliharaan sesuai kerangka prioritas yang sudah ditetapkan.

Selanjutnya, hilangkan jabatan rangkap di lingkungan sipil. Adalah ironi jika TNI (dulu ABRI) sudah langsung mereposisi diri dengan mengurangi bahkan menghilangkan dwi-fungsi, sementara jabatan rangkap di lingkungan sipil justru makin menghebat. Contoh jabatan rangkap yang masih marak adalah birokrat yang juga menjabat komisaris atau anggota komisi. Profesor atau dosen pun masih berlomba menduduki jabatan struktural di kementerian, kepala badan, plus komisaris sebuah atau dua BUMN sekaligus. Kelima, menurunkan secara terprogram angka pengangguran sebagai satu-satunya besaran makroekonomi yang belum ditangani secara serius. Hal in tidak boleh dilupakan walaupun besaran lainnya seperti tingkat pertumbuhan ekonomi, kurs tukar rupiah, dan jumlah penduduk sudah berada pada level yang manageable. Terakhir, dalam penerbitan berbagai regulasi seperti Undang-Undang dan peraturan pelaksananya, pemerintah hendaklah menegaskan keberpihakan kepada masyarakat luas. Bukan kepada kelompok tertentu.

Masih banyak perintah lain yang juga penting untuk diberikan guna mengamankan berlangsungnya kehidupan bernegara di Republik tercinta ini. Namun keenam langkah di atas merupakan langkah prioritas yang sebaiknya segera direalisaksikan menjelang berakhirnya masa bakti Kabinet Gotong Royong. Mudah-mudahan dengan berbekal langkah tersebut negara ini tidak perlu masuk jurang. Dan semoga pemimpin kita pun tidak terus pusing! Amin.
_______
*) Penulis adalah anggota Dewan Pakar Muslim Information Technology Association (MIFTA), alumnus University of Connecticut, USA.



No comments: