Oleh: Eddy Satriya*)
Peristiwa ini terjadi awal April 2006 lalu ketika saya menyetel lagu Lately yang disenandungkan penyanyi berkulit hitam Salena Jones. Beberapa saat setelah bagian awal lagu yang dipopulerkan Stevie Wonder itu mengalun, puteri kedua saya yang sedang asyik menggambar tiba-tiba bertanya: ”Pa, itu lagu Tulus pakai bahasa Inggris ya?”. Saya tidak langsung menjawab, dan ia pun meneruskan mewarnai beberapa gambar favoritnya. Pertanyaan anak saya yang baru duduk di Taman Kanak-Kanak itu sangat mengusik. Bukan karena anak-anak sekarang lebih memahami lagu remaja atau orang dewasa, tetapi karena anak saya ternyata juga merasakan “kemiripan” antara lagu pop Tulus yang menjadi salah satu hit sebuah group band negeri ini dengan Lately.
Kebetulan saya memang sudah lama penasaran. “Kemiripan” itu telah saya rasakan ketika saya diminta mengiringi Tulus. Insting dan jari tangan saya dengan otomatis mengikuti alur chords Lately, salah satu lagu favorit saya sejak pertama kali saya dengar bulan Agustus 1982. Bagi pemusik lintas generasi, mengiringi Tulus dengan gitar atau piano tentu tidak akan mengalami kesulitan karena susunan bait dan alur chords lagunya memang nyaris sama. Belum lagi kalau ditinjau dari isi lagu. Lirik-lirik Tulus yang meragukan ketulusan hati sang kekasih dalam mencintai, juga nyaris “klop” dengan Lately. Simaklah kuatnya makna penggalan lirik “Just the other night while you were sleeping/I vaguely heard you whispered someone’s name”. Singkat kata, lagu Tulus memang sangat “mirip” dengan Lately.
Bagi orang awam, penggemar musik biasa, atau seniman yang lahir berbeda generasi cukup jauh, “kemiripan” kedua lagu tersebut bisa saja menjadi suatu yang wajar dan tidak menarik perhatian. Namun bagi para pemusik handal atau penikmat musik fanatik, maka “kemiripan” itu mustahil tidak diketahui. Menjadi pertanyaan tentunya, mengapa semua membisu dan mendiamkan saja? Apakah benar belasan program infotainment hanya memburu berita artis yang kawin-cerai? Apakah diantara pemusik dan penyanyi juga berlaku slogan “Sesama Bus Kota Dilarang Saling Mendahului”?
***
Mirip memang tidak otomatis identik dengan menjiplak. Dari berbagai definisi semua itu bisa diperdebatkan. Namun demikian, meskipun tidak ada batasan baku, semangat seni dari dulu memang saling menghargai karya cipta dengan moralitas tinggi. Di tengah majunya dunia musik negeri ini, sudah selayaknya juga banyak kritikus seni yang secara jeli menjaga agar dunia seni tidak sampai tercederai seperti halnya berbagai bidang kehidupan lain yang sudah carut marut.
Jika kita menengok ke belakang, masalah jiplak menjiplak lagu sudah pernah gencar dibahas dalam berbagai kesempatan. Namun gaungnya hilang sejalan dengan semakin maraknya pembajakan musik yang mengambil pasar cukup besar dan berbagai faktor lemahnya penegakan hukum dagang. Beberapa kali Chandra Darusman, Franky Sahilatua, dan artis lainnya pada kurun 1990-an gencar membahas bajak-membajak dan jiplak-menjiplak lagu. Namun langkah besar itu kelihatannya berhenti begitu saja tanpa jelas kelanjutannya.
Menariknya lagi gejala “kemiripan” lagu yang terjadi di negeri kita dengan lagu lain yang sudah lebih dulu populer itu justru muncul dari kalangan artis yang sedang naik daun. Karena penyanyi atau penciptanya sedang “ngetop”, maka sepertinya boleh dimaafkan. Kental sekali terasa sikap memaklumi yang biasanya terjadi di lingkungan sosial politik, juga telah mewabah dan merasuki sendi-sendi mulia bidang seni yang sangat menghargai orisinalitas suatu karya cipta. Jelas ini suatu penurunan nilai-nilai yang harus segera dihentikan. Bagaimanapun pelaku seni meletakkan kepuasan karya seni di atas segalanya.
Gejala miripnya lagu bukan hanya terjadi sekarang. Sulit dilupakan kalau lagu “Antonio’s Song” nya Michael Frank juga sangat mirip dengan lagu pop manis berjudul “Keraguan” yang dinyanyikan oleh duo penyanyi pria kita yang sangat populer di tahun 1980-an. “Kemiripan” lagu juga terjadi untuk beberapa lagu daerah yang sangat populer. Tidak jarang lagu yang sudah dianggap hasil karya bermutu putera daerah, ternyata memiliki padanan lagu yang sangat mirip baik dari komposisi nada maupun lirik. Lihat saja lagu Panon Hideung dari Jawa Barat yang terkenal itu tidak bisa dibedakan dengan lagu latin “Cotzi Cortina” yang juga berarti Si Mata Hitam. Begitu pula Kopi Dangdut yang sudah menjadi hit dalam blantika musik dangdut anak negeri ini tidak bisa dibedakan dengan versi latinnya. Sebuah lagu daerah dari Minangkabau Kamiri yang berirama swing juga ternyata mirip dengan sebuah lagu jazz standar kuno di Amerika Serikat sana.
***
Musik memang tidak bisa dipisahkan dari bisnis. Karena itu berbagai penyimpangan juga dimaklumi bisa terjadi. Blantika musik nasional saat ini memang sedang marak atau “booming”. Meskipun pembajakan masih menjadi momok, namun berkat kemajuan dan konvergensi teknologi, majunya media cetak dan elektronik, serta perkembangan iklan yang makin baik telah membuat musik menjadi industri alternatif yang menjanjikan. Munculnya pemusik berbakat alam maupun yang lewat jalur akademik telah menyemarakkan industri musik nasional dalam 10 tahun terakhir dan mampu menyerap banyak tenaga kerja.
Kepakaran beberapa musisi besar Indonesia dan pelaku bisnis di bidang ini telah berhasil meningkatkan kesempatan penampilan karya musik melalui berbagai show baik di pelosok negeri ataupun ke negara tetangga. Begitu pula berbagai kemajuan penting dalam perfilman nasional dan dunia infotainment dan edutainment lainnya telah secara langsung menggairahkan dunia musik nasional. Suksesnya hajatan Java Jazz 2006 yang lalu di Jakarta menjadi bukti bahwa kita adalah juga bangsa yang besar di bidang seni.
Namun demikian berbagai kemajuan yang telah dicapai dunia musik nasional, baik yang berakar dari budaya sendiri ataupun sebagai dampak globalisasi, tidak seharusnya bisa mentolerir berbagai “kemiripan” karya cipta seni orisinal yang tidak ternilai. Apalagi tanpa ada penjelasan tuntas tentang penciptanya. Begitu pula popularitas, omzet, serta kelangsungan kontrak dalam bisnis musik tidak bisa menjadi pertimbangan untuk mendiamkan berbagai perilaku buruk dan rendahnya moral sebagian artis yang memaksakan diri mencari jalan pintas. Kalau itu terjadi, semestinya para pemusik muda terus diingatkan agar tetap mempertahankan idealisme mereka.
Sikap sportivitas dan menjunjung tinggi karya orang lain juga semestinya dapat dipertahankan di dunia seni. Dalam kondisi negara yang sedang terpuruk di berbagai bidang, maka bidang seni - termasuk musik- kiranya menjadi salah satu dari sedikit alternatif tersisa yang masih bisa membuat kita bangga sebagai bangsa Indonesia. Musik, lagu, dan karya seni lainnya seharusnya tidak terseret kedalam nilai-nilai rendah seperti perilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang telah menjadi momok negeri ini.
Jika pemimpin sudah banyak yang semakin jauh dari rakyatnya, jika birokrat sudah semakin sulit lepas dari kekuasaan, jika pelaku bisnis masih belum bisa meninggalkan praktek suap-menyuap dan mark up, ketika sebagian profesor kita juga tidak kalah kotor, dan ketika sebagian para kiai pun sudah tidak bisa membedakan antara berdakwah dengan berbisnis dan berpolitik di negeri ini, maka hanya kepada dunia seni lah kita bisa mengharap independensi suatu karya orisinal yang masih dijunjung tinggi oleh idealisme.
Maka pemusik dan penyanyi teruslah berkarya dengan idealisme penuh. Karena musik dan lagu juga bisa menunjukkan bangsa.
_________
*) Penikmat musik dan pemerhati reformasi. Menetap di Sawangan-Depok. Dapat dihubungi di satriyaeddy@yahoo.com
No comments:
Post a Comment