Oleh: Eddy Satriya*)
Telah diterbitkan dalam Kolom Forum Keadilan No.32/11 Desember 05
Seakan telah menjadi sebuah menu rutin, hujan hujatan kepada sekitar 4 juta Pegawai Negeri Sipil (PNS) kembali menjadi berita utama pasca lebaran yang lalu. Meski terkesan repetitif menguraikan inefisiensi birokrasi dan kebobrokan mental aparatnya, pemberitaan itu juga semakin dalam mencungkil berbagai segi yang terkait dengan PNS. Bukan hanya menggambarkan terjadinya “kucing-kucingan” antara pejabat yang melakukan inspeksi mendadak dengan para pegawai, perilaku PNS yang hanya bersalam-salaman lalu pulang, atau tentang sanksi yang mungkin diterima pegawai, tetapi beberapa pemberitaan dan editorial juga melebar. Ujung-ujungnya, pemberitaan menjalar kepada masih maraknya praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) di lingkungan PNS.
Dalam era kehidupan sangat sulit pasca kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang sangat tinggi, hujatan terhadap perilaku miring PNS itu kiranya layak menjadi bahan renungan bagi mereka yang masih melakukan praktik menyimpang. Sebagai manusia biasa, proses merenung secara berkala memang diperlukan. Selain itu, penting pula menjadikannya sebagai masukan berharga dalam reformasi birokrasi secara menyeluruh.
Rendahnya gaji PNS memang telah menjadi salah satu penyebab tidak efisiennya mesin birokrasi. Seorang Direktur setingkat Eselon II bergolongan IV-C memperoleh gaji pokok hanya sekitar Rp 1,4 juta per bulan. Rendahnya tingkat gaji resmi ini – di luar tunjangan - mendapat tanggapan beragam dari birokrat sendiri maupun dari pebisnis sebagai mitra pemerintah. Akibatnya, rendahnya gaji bukan hanya dimanfaatkan oleh oknum PNS untuk “memainkan” jurus-jurus canggih KKN guna menambah pendapatan mereka, tetapi juga menjadi celah yang pantang dilewatkan mitra swasta yang ingin memperoleh keuntungan besar.
Berbagai contoh KKN dalam segenap sendi kehidupan di zaman Orde Baru (Orba) telah menjadi bukti.
Sebut saja penyimpangan pemberian izin mendirikan bangunan (IMB) di daerah Bogor-Puncak-Cianjur (Bopunjur), penyelewengan dana abadi umat di Departemen Agama yang membuat bulu kuduk berdiri, fenomena para pemimpin proyek (pimpro) yang sudah mashur sebagai “boneka” pejabat, serta berbagai penyimpangan prosedur yang sudah dianggap sangat biasa. Contoh lain, tarik ulur berbagai kepentingan telah mengorbankan pengendara mobil di Jakarta kepada gerombolan Kapak Merah di persimpangan Halim Perdanakusumah hanya karena ”disconnected” dua ruas jalan Tol Jagorawi dengan Tol Cikampek terus dibiarkan hingga kini.
Namun sungguh ironis. Berbagai kebusukan yang telah terjadi di era Orba itu, kelihatannya masih sulit diperbaiki. Seperti pernah saya uraikan dalam sebuah kolom, reformasi kita adalah ”Reformasi Poco-Poco”. Maju satu langkah, mundur dua, lalu berputar-putar di tempat dimana kondisi harmonis sesama pelaku KKN saling terjaga (Forum, 6/02/05).
Sementara perubahan pola pikir belum terjadi dan modus operandi KKN selama orba belum terkikis, pembusukan baru di berbagai bidang justru berlangsung semakin canggih. Terbongkarnya praktik KKN di Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menggiring kaum intelektual bertitel guru besar dan dosen utama ke hotel “prodeo” merupakan bukti memilukan tentang semakin tidak bermoralnya PNS. Atau lihat pula pemberian izin pendirian hotel dan pusat belanja di jantung kota-kota besar yang sudah sangat macet. Ada pula pembangunan under-pass dan over-pass yang sekaligus menjadi ruang pertokoan bernilai milyaran di kawasan elite Jakarata Selatan. Anehnya, underpass yang dibangun tidak dirancang sekaligus untuk penyeberangan dan pergerakan manusia di junction yang padat itu. Sebaliknya, ruang udara publik disulap menjadi ”jeko” atau jembatan pertokoan. Sungguh mengusik logika sekaligus syaraf humor kita.
Singkat kata, dalam segala lini kasus KKN masih merebak. Terbukti negara kita “mampu” mempertahankan diri sebagai salah satu negara terkorup di dunia.
***
Setelah melihat beberapa praktik KKN yang masih terus terjadi hingga kini, rasanya kita perlu mencermati pendapatan resmi para PNS. Take home pay PNS ternyata bervariasi dalam kisaran rendah jika dibandingkan dengan tanggung jawabnya. Dengan memasukkan tunjangan jabatan serta berbagai tunjangan lainnya, seperti tunjangan khusus (TC) dan tunjangan kerja ganda (TKG) untuk beberapa kantor tertentu, maka PNS yang menjabat Eselon I, II, III, dan IV menerima berturut-turut sekitar Rp 8,5 juta, Rp 6,5 juta, Rp 3,5 juta, dan Rp 2,5 juta, sesuai masa kerja. Sedangkan untuk departemen lain, take home pay mereka berada dibawah angka-angka tersebut.
Wajar muncul pertanyaan, bagaimanakah PNS dapat bertahan hidup atau mempertahankan gaya hidupnya? Apakah mereka bisa bertahan dari godaan ketika harus mengelola keuangan negara bernilai triliunan Rupiah?
Pertanyaan itu tidaklah memerlukan jawaban rinci. Kejadian dan praktik KKN yang diceritakan di atas merupakan salah satu jawabannya. Ada juga yang harus menyingkir atau disingkirkan. Bagi yang mau bertahan di jalan yang benar, biasanya PNS harus berhemat superketat. Melakukan moonlighting atau kerja rangkap juga ditempuh. Namun terkadang rangkapnya bukan hanya satu atau dua, tapi bisa di tiga tempat atau lebih. Karena itu tidak heran kita saksikan banyak PNS menjadi anggota komisi, komisaris, direktur lembaga penelitian, atau Staf Khusus Menteri yang memang diizinkan dalam era Kabinet Indonesia Bersatu. Sayangnya, banyak kaum intelektual yang PNS ini justru lupa diri. Mereka sering latah menyuarakan pemberantasan kemiskinan dan pengangguran, tanpa peduli tindakan mereka telah menghilangkan kesempatan orang lain bekerja.
Ketidakpedulian mereka makin kentara ketika bicara tentang wong cilik atau mengritik pemerintah, tetapi diam-diam mereka mengantongi puluhan juta Rupiah setiap bulannya melalui honor dan fasilitas komisaris tanpa peduli perusahaan itu merugi atau disubsidi pembayar pajak. Padahal praktik moonlighting yang dikenal di negara maju bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal suatu keluarga. Kerja rangkap biasanya tidak dibolehkan untuk jabatan penting dalam pemerintahan. Selain itu, kita saksikan pula ada selebritis berstatus PNS terus “manggung” di jam kerja tanpa perasaan bersalah. Celakanya, PNS jenis ini malah terus dipuja dan diekspose habis-habisan oleh pers.
Cerita indah demikian sayangnya tidak dinikmati oleh PNS golongan bawah. Guna mengirit biaya transportasi dan makan, tidak jarang mereka membolos teratur setiap minggu. PNS yang menjadi pengojek juga banyak ditemui di berbagai perumahan. Tentu kita masih ingat beberapa tahun lalu ada PNS yang tewas dipatuk ular di kantornya sendiri karena ular yang menjadi tambahan pencahariannya itu terlepas dari karungnya dan menggigit PNS tersebut. Cerita nelangsa PNS golongan bawah ini dan drama kehidupan mereka tentu tidak ada habisnya, apalagi pasca kenaikan harga BBM.
***
Menghadapi tantangan pembangunan yang makin besar dan dalam rangka reformasi birokrasi yang sebenar-benarya, kiranya pemerintah dapat memulainya dengan merealisasikan sistem penggajian PNS yang baru.
Pembenahan sistem penggajian -termasuk pensiun- ini adalah suatu keutamaan. Sistem penggajian yang lebih baik dan manusiawi diharapkan dapat mengurangi dikorupnya Triliunan Rupiah uang negara jika diikuti dengan pengawasan dan sanksi yang ketat. Namun diperkirakan berbagai resistensi akan muncul dari pihak-pihak yang menginginkan status quo. Jika sementara waktu masih terkendala oleh prioritas pembangunan, bisa juga dipikirkan agar diberikan tambahan insentif untuk PNS golongan bawah. Insentif ini bisa saja berbentuk subsidi khusus yang disesuaikan dengan aturan yang berlaku. Jika pemerintah telah memerhatikan rakyat miskin, sekarang sudah waktunya pula untuk lebih memerhatikan aparatnya sendiri yang papa. Keberpihakan sangat diperlukan dalam era ekonomi baru dan globalisasi.
Tanpa bermaksud kasar, ada baiknya kita bandingkan nasib PNS di Indonesia dengan sapi-sapi di Eropa dan Jepang. Untuk mempertahankan daya beli petaninya di pasar bebas, Uni Eropa di bawah The Common Agricultural Policy (CAP) terus memberikan subsidi kepada setiap sapi sebesar US$ 2,5 per hari. Seperti diuraikan oleh Jessica Williams (2005) dalam bukunya “ 50 Facts that should Change the World”, sekitar 21 juta sapi di Eropa itu sangat beruntung karena dengan subsidi yang diberikan sapi-sapi itu bisa berkeliling dunia dan plesir di berbagai kota besar setiap tahun. Namun sapi dari Jepang lebih beruntung lagi. Jika sapi-sapi dari Eropa berkeliling dunia dengan pesawat kelas ekonomi, sapi-sapi Jepang itu bisa bersenang-senang di kelas bisnis.
Ahh....., tapi PNS Indonesia kan bukan sapi? Mereka juga manusia biasa.
________
*) Penulis Kolom, Alumnus University of Connecticut, Storrs, USA.
No comments:
Post a Comment