Friday, March 09, 2007

Telematika Perlu Kajian Bermutu

Oleh: Eddy Satriya

Kompas, 24 April 2006 http://www.kompas.com/kompas-cetak/0604/24/tekno/2604608.htm

Kondisi sektor telematika saat ini memang tidak sekritis sektor infrastruktur lainnya seperti ketenagalistrikan, jalan, dan perhubungan. Namun, jika tidak dicermati dan diantisipasi dengan saksama, mungkin sektor telematika di Indonesia hanya menjadi pasar gemuk barang-barang konsumtif yang akhirnya berpotensi meninabobokan rakyat dan melemahkan daya saing bangsa.

Di samping mendorong pola hidup konsumtif, pada kenyataannya telematika sudah mulai memperburuk situasi "keliru budaya" seperti bertelepon, menonton televisi atau DVD, serta berkirim pesan singkat (SMS) sembari mengemudi di jalan raya. Suatu kondisi yang secara langsung memperparah tingkat kemacetan yang berujung kepada rasa kesal, mudah marah, dan stres pengguna jalan di kota besar.

Di sisi lain, terlambatnya operator menggelar jaringan telepon tetap telah menjadikan Indonesia tertinggal. Rendahnya penetrasi telepon tetap (di bawah empat persen) yang ditingkahi oleh mahalnya tarif internet telah menutup peluang publik memanfaatkan telematika untuk memperbaiki tingkat sosial dan ekonomi mereka.

Telepon seluler atau ponsel memang telah menjadi alternatif bertelekomunikasi. Namun, kesenjangan digital (digital divide) semakin melebar. Meski sudah mulai merambah ke daerah, ponsel terkonsentrasi di kota-kota besar. Tidak jarang sebuah keluarga memiliki lebih dari empat ponsel, sedangkan masyarakat di pedesaan belum memiliki akses.

Tidak bisa dimungkiri bahwa perkembangan industri telematika selalu berjalan lebih cepat dibandingkan dengan kemampuan pemerintah dalam menyiapkan regulasi dan kebijakan. Kondisi yang sama juga terjadi di negara maju atau negara berkembang lainnya.

Miskin kajian

Pengembangan sektor telematika membutuhkan dukungan kajian bermutu dan komprehensif agar pemanfaatannya bagi ekonomi nasional bisa optimal.

Kajian yang tergolong baik dan komprehensif yang pernah dilakukan pemerintah adalah pada pertengahan 1990-an ketika menyiapkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang II. Namun, kajian itu khusus untuk telekomunikasi, belum mencakup komponen lain dalam telematika seperti teknologi informasi dan penyiaran.

Semenjak itu, perkembangan telekomunikasi nyaris terdikte oleh kemajuan teknologi dan pasar yang justru melemahkan industri telekomunikasi dalam negeri. Terlambatnya regulasi dan miskinnya kajian menyebabkan banyak industri telekomunikasi nasional gulung tikar.
Pada saat yang sama, proses legislasi beberapa rancangan undang-undang (RUU) belum ada kemajuan. Kalaupun pada akhirnya RUU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik disetujui DPR, diperkirakan UU tersebut "would be absolute by the time it is signed" (akan berlaku penuh pada saat UU tersebut ditandatangani) mengingat berlarutnya proses legislasi yang menghilangkan aktualitasnya.

Dari sisi penelitian kondisinya juga menyedihkan. Beberapa tahun lalu kita sering mengernyitkan dahi menyaksikan penjelasan dari tingkat staf hingga menteri, dan pengamat kondang dari berbagai universitas yang sering mengutip tentang kontribusi satu persen peningkatan teledensitas yang akan menaikkan GDP tiga persen. Padahal, hasil regresi sederhana International Telecommuncation Union, yang menggunakan hubungan The Wealth of Nation-nya Jipp (1963) dengan kepadatan telepon, itu sudah lama basi.

Demikian pula ketika pemerintah menerima pinjaman lunak untuk membiayai proyek telekomunikasi pedesaan dari Ausaid pada awal 1995.
Dominasi industri dan berbagai pertimbangan nonteknis telah memupuskan kesempatan Indonesia untuk menggunakan teknologi Code Division Multiple Access (CDMA). Jelas suatu pengalaman pahit karena perbandingan spesifikasi yang dikaji tim teknis menunjukkan CDMA lebih unggul dan prospektif.

Peluncuran berbagai satelit baru, baik yang dimiliki BUMN maupun swasta, sangat kentara hanya berorientasi bisnis. Padahal, beberapa satelit terdahulu masih memiliki transponder lain di luar C-Band (4-6 GHz) yang bisa mendorong berbagai penelitian lebih lanjut untuk melayani daerah terpencil.

Langkah ke depan

Bak gayung bersambut, pentingnya memperbanyak studi sepertinya telah sejalan dengan keinginan pemerintah saat ini.
Hal ini terlihat ketika Menteri Komunikasi dan Informatika Sofyan Djalil dalam suatu pameran di Jakarta menegaskan bahwa pemerintah ingin mempelajari cara menurunkan tarif broadband (Detik, 14/3/2006). Keseriusan Menkominfo tersebut tentu perlu dibuktikan dalam implementasinya di lapangan.

Pelaksanaan kajian tidak harus dilakukan pemerintah sendiri, tetapi bisa dengan memfasilitasi dan memberikan kontrak kepada konsultan, perguruan tinggi, lembaga peneliti, dan individual expert yang cukup banyak di Indonesia.
Sungguh sayang kalau triliunan rupiah revenue sektor telekomunikasi tidak dimanfaatkan untuk penelitian dan pengembangan (R&D) yang dapat menyerap tenaga kerja dan memberikan tempat bagi peneliti muda.

Ada beberapa topik yang bisa menjadi bahan penelitian saat ini. Pertama, aspek infrastruktur dan backbone. Apakah, misalnya, kita memang akan mengambil langkah phasing out telepon tetap kalau kenyataannya operator sudah tidak berselera investasi di sektor ini, atau terus saja menggelar fixed wireless dan teknologi nirkabel sejenis?
Atau, jika perlu justru berinovasi menyiapkan regulasi pasar yang dapat merangsang penggunaan telepon tetap untuk koneksi internet sehingga dapat meningkatkan average revenue per user (ARPU).

Topik kedua adalah pemetaan struktur industri yang berorientasi kepada kebutuhan dan kesiapan industri domestik. Ketiga, terkait dengan pengembangan aplikasi yang diperkirakan akan sangat memegang peranan karena faktor konvergensi teknologi, termasuk aplikasi yang berhubungan erat dengan pasar global, seperti Radio Frequency Identification (RFID). Keempat, adalah kajian tentang pemetaan dan rencana pemanfaatan sumber daya manusia (SDM).

Kelima, kajian mengenai regulasi dan kebijakan yang diperlukan sebagai terobosan untuk penambahan kapasitas baru serta perluasan jangkauan layanan. Sebagai contoh adalah mengkaji keinginan pelaku bisnis agar pemerintah membebaskan berbagai perizinan jika usaha telematika tidak memakai frekuensi berlisensi atau nomor standar.
Kebutuhan akan kajian bermutu sektor telematika semakin diperlukan manakala kemajuan teknologi VoIP, yang terus dikembangkan oleh anak-anak muda Ukraina dalam versi Skype dan beberapa variannya, dipastikan akan memengaruhi struktur industri telematika di kemudian hari.

Dukungan semua pihak jelas sangat diharapkan agar berbagai kajian teknis dan dampak sosial ekonomi telematika dapat dilaksanakan dalam waktu dekat sehingga bisa membantu pemerintah dalam berbagai proses pengambilan keputusan. Semoga!

Eddy Satriya Senior Infrastructure Economist, Bekerja di Kantor Menko Bidang Perekonomian. E-mail: esatriya@ekon.go.id
***
*)Catatan Penulis: Kelihatannya terjadi sedikit kekeliruan editing, berkemungkinan karena standar error correction bahasa Inggris yang digunakan, sehingga “ obosolete” berubah menjadi “absolute” pada sub-heading Miskin Kajian alinea ke-4. Seharusnya berbunyi “would be obsolete by the time it is signed” (akan berlaku penuh pada saat UU tersebut ditandatangani). Terima kasih.

No comments: