Friday, March 09, 2007

OTOKRITIK: REFORMASI “PETAK-UMPET”

Oleh: Eddy Satriya*)

Kolom Majalah Forum Keadilan 04 Juni 2006

Mayoritas rakyat Indonesia kembali berduka. Bukan karena sakitnya mantan Presiden Suharto atau terbitnya ketetapan untuk menghentikan proses penuntutan hukum terhadap Sang Presiden. Bukan pula karena masyarakat Indonesia kembali harus memperingati dan mengenang kejadian demi kejadian tragis pada Mei 1998. Juga bukan karena ancaman bencana alam, petaka atau kecelakaan yang terus terjadi. Tetapi karena mereka merasakan bahwa reformasi telah mati. Tak salah kalau Fadjroel Rachman, rekan seangkatan di ITB dulu, mengajak kita semua untuk merayakan kematian reformasi (Kompas, 18/5/06).

Namun ajakan Fadjroel untuk bereformasi dalam hati dan pikiran agak mengusik saya. Karena dari pengamatan langsung atas berbagai perilaku rakyat dan pemimpin di negara ini, maka sungguh sulit melaksanakan ajakan tersebut. Rakyat sudah nyaris pasrah. Sementara sebagian besar para pemimpinnya sulit membebaskan diri mereka atas kemunafikan dan berbagai “kesalahan prosedur” yang terjadi di sekitarnya.

Kita menjadi bangsa yang gagal memahami dan melaksanakan arti kata reformasi (“Reformasi Poco-Poco”, Forum, 6/2/05). Kita dengan pasti telah menjelma menjadi bangsa yang bercirikan tambal-sulam, suka coba-coba, menghindari proses rumit dan jalan berliku, serta sulit yakin untuk melaksanakan suatu perencanaan secara profesional. Akibatnya berbagai upaya perbaikan yang dilaksanakan semua pihak –masyarakat, pengusaha, dan pemerintah- gagal dan tinggal slogan semata. Berbagai kejadian dan fakta terbaru membuktikan itu.

Yang diperlukan sekarang adalah mencari penyebab kegagalan. Tentu saja kemudian harus diikuti pula oleh alternatif perbaikan yang mungkin dilaksanakan (implementable actions). Kegagalan reformasi bukan sembarangan. Ia telah gagal dipahami, direalisasikan dan dijadikan “pakaian” sehari-hari dalam kurun waktu 8 tahun (sewindu) oleh sebagian besar warga negara di bumi nusantara, terutama oleh mereka yang diserahi berbagai amanah.

Sesungguhnya ada lima alasan utama kegagalan pelaksanaan reformasi yang berujung kepada perasaan kita akan matinya reformasi itu. Pertama, adalah gagalnya menempatkan variabel tingkat upah (wage) sebagai salah satu besaran makroekonomi penting dalam konteks ekonomi nasional. Tingkat upah bersama-sama dengan tingkat inflasi (inflation rate), pertumbuhan ekonomi (economic growth), dan tingkat pengangguran (unemployement) adalah besaran utama makroekonomi yang sangat vital dan menentukan arah ekonomi suatu bangsa.

Kita sering mengaitkan tingkat pertumbuhan ekonomi dengan perkiraan pertumbuhan suatu sektor pembangunan tertentu atau kurva supply-demand suatu jenis produk dan jasa. Namun sayang, tingkat upah- termasuk gaji aparat - belum pernah secara serius dan maksimal dimasukkan kedalam berbagai pertimbangan dalam menentukan arah dan kebijakan ekonomi nasional. Karena itu kita menyaksikan gaji seorang direktur di sebuah BUMN (termasuk yang merugi) bisa saja jauh lebih tinggi dari gaji resmi seorang Presiden.

Tingkat upah harian (minimum) pun belum dijalankan sesuai prinsip reservation wage yang menjadi pertimbangan seseorang mengorbankan waktu seggangnya ketika masuk ke bursa kerja, seperti dijelaskan dalam buku teks ekonomi. Ketidakadilan perlakuan terhadap tingkat upah ini berujung kepada banyak hal. Penindasan atas buruh, suburnya praktek KKN, dan terlambatnya hingga gagalnya pelaksanaan berbagai program pembangunan.

Kedua, adalah faktor terlambatnya menyehatkan birokrasi guna menuju pelaksanaan kepemerintahan yang baik dan bersih (clean and good governance). Mutlaknya reformasi birokrasi gagal dipahami, gagal diurutkan prioritasnya dan gagal total pula dilaksanakan meski Presiden dan pembantunya telah berganti.

Berbagai keharusan untuk melayani publik dengan murah, cepat dan transparan hanya terjadi di beberapa daerah yang memiliki kepala daerah dengan visi dan misi yang cemerlang. Banyak rencana aksi pemberantasan KKN justru dibuat secara serampangan, yang akhirnya berujung kepada KKN berikutnya. Akibatnya, sebagai contoh saja, seseorang yang ingin berurusan dengan birokrasi masih harus mengeluarkan biaya ekstra sebagai pelicin. Termasuk mereka yang melamar menjadi anggota suatu badan atau komisi pemberantas suap menyuap, mau tidak mau juga terpaksa harus menyuap jika urusannya ingin dipercepat dalam memperoleh berbagai surat keterangan (“Sapu Campur Debu”, Forum, 11/7/04) . Tersedianya teknologi informasi dan telekomunikasi belum bisa maksimal dimanfaatkan dalam berbagai program electronic government.

Ketiga, adalah kegagalan menjalankan peran dan fungsi hukum. Kondisi faktor yang satu ini tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut. Lolosnya terpidana korupsi maupun perkara kriminal dari jerat hukum, terlibatnya beberapa petinggi dan praktisi dibidang hukum dalam kasus Bank BNI dan ratusan kasus lainnya menjadi saksi bisu lemahnya penerapan hukum di Indonesia.

Berikutnya adalah langkanya pemimpin yang mampu memberi teladan. Menyamakan ucapan dengan perbuatan ternyata memang bukan pekerjaan gampang. Dengan kata lain, kemunafikan telah menjadi pakaian sehari-hari. Setiap orang mampu menunjukkan orang lain melakukan perbuatan jahat seperti korupsi, tanpa menyadari ia sendiri melakukan hal yang sama. Sehingga definisi korupsi sekarang mungkin lebih tepat berbunyi “perbuatan penyalahgunaan kewenangan atau jabatan di berbagai tingkatan untuk memperkaya diri sendiri atau golongan yang dilakukan orang lain”.

Berbagai praktek buruk yang terjadi di zaman Orde Baru kembali terulang. Bertubi-tubinya terpaan praktek-praktek kotor dan jahat telah mematikan rasa kritis di lingkungan masyarakat. Membuat mereka semakin apatis ditengah beratnya kehidupan ekonomi. Besarnya rombongan yang mengiringi setiap misi dinas negara yang kemudian berlanjut dengan berbagai acara, termasuk seperti umroh baru-baru ini hanya bisa disaksikan dengan perasaan gundah di berbagai stasiun televisi. “Kafilah bebas berlalu, karena anjing memang sudah tidak kuat lagi menggonggong”.

Himbauan untuk hemat energi malah diiringi dengan seliweran mobil-mobil built-up ber-cc tinggi. Termasuk mobil jenis mini bus di atas 2000 cc yang menjadi trend sebagai mobil dinas aparat pemerintah, baik di daerah maupun di pusat. Lucunya lagi, mobil-mobil dinas tersebut yang seharusnya berpelat merah atau hijau, bisa diganti dengan pelat hitam setelah membayar sejumlah uang “resmi” di instansi terkait. Sebaliknya jika dimintakan mobil dinas ber-cc kecil dari jenis sedan, akan dicemooh dan dikatakan tidak pantas. Daftar kemunafikan ini tentu bisa ditambah terus tanpa batas.

Terakhir adalah sulitnya mengikhlaskan suatu tugas untuk dikerjakan orang lain. Saat ini semakin banyak mantan pejabat di “lingkar luar” kekuasaaan yang terus-menerus justru memperburuk keadaan. Mereka masih terus menyalahkan, sementara ketika berkuasa dulu justru tidak mengoptimalkan kesempatan. Karena itu, maaf saja jangan heran jika seorang mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di zaman Orde Baru dengan sangat jelas bisa membeberkan kegagalan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) serta kondisi ilmuwan di Indonesia (Kompas,4-5/4/06). Sungguh sulit ditebak apa jawaban yang akan meluncur dari bibirnya jika ditanyakan kualitas pendidikan anak-anak kita yang semakin parah saat ini.

Seorang mantan Menteri bidang XYZ mampu membeberkan kebobrokan sektor XYZ setelah ia tidak lagi berkuasa. Biasanya ia akan tampil dalam berbagai seminar yang dengan sangar menanyakan atau menulis artikel berjudul “Mau Dikemanakan XYZ kita?”. Sifat itu biasanya diikuti dengan menyalahkan instansi lain sebagai kambing hitam kegagalan dirinya dan instansi yang dipimpinnya.

Kelima penyebab matinya reformasi seperti diuraikan diatas tentunya bukan harga mati. Masih banyak sebab-sebab lain. Kombinasi dari kelima sebab di atas dengan berbagai kondisi yang ada di tengah masyarakat sangat berpotensi memperburuk kualitas reformasi dan berbagai usaha perbaikan yang tengah dilakukan pemerintah sekarang.

Karenanya menjadi sangat penting untuk menghentikan dan memperbaiki kelima faktor di atas. Hal itu bisa dilakukan dengan apa yang sering saya sebut sebagai “Back to Basics”.
Langkah-langkah itu adalah membenahi tingkat upah sampai ketingkat yang pantas. Hal ini bisa dilakukan dengan membatasi upah maksimum yang pada saat bersamaan mengaitkan tingkat upah terendah disuatu kantor atau perusahaan dengan upah maksimum tadi. Sebagai contoh, di Jepang secara rata-rata upah tertinggi adalah 7 hingga 10 kali upah terendah. Adalah suatu kemajuan jika kita mampu menurunkan tingkat upah maksmimum ke kisaran 15 kali lipat upah terendah. Pembenahan upah juga bisa diatasi dengan hanya mengizinkan seorang merangkap maksimum hanya dua atau tiga jabatan pada saat bersamaan.

Langkah berikutnya bisa dilakukan dengan mendorong keberanian para pemimpin untuk memberikan teladan dan berani menegur jika bawahannya memang salah. Tentu saja memuji jika mereka berprestasi. Jangan seperti sekarang, banyak pemimpin yang tidak berani menegur seorang supir sekalipun, karena berbagai alasan.

Ketiga, membiasakan diri bertindak profesional yang mampu bekerja keras, produktif dan sebaik mungkin meski tidak diawasi. Sifat profesional ini sebaiknya diikuti dengan bertindak hemat dan jauh dari gengsi dalam keseharian.

Keempat tentu saja harus melaksanakan perbaikan kondisi hukum di Indonesia. Perbaikan hukum bisa dimulai dengan memperbaiki bibit dan mutu sumber daya manusianya. Hal ini bisa dilakukan dengan memulai kampanye agar siswa terbaik di sekolah menengah memprioritaskan jurusan hukum dalam pemilihan jenjang pendidikan tinggi. Bukan seperti selama ini dimana banyak yang memilih jurusan hukum setelah tidak diterima di berbagai jurusan favorit lainnya.
Terakhir tentu saja dengan mulai mengikis habis sifat kemunafikan dalam diri sendiri.

Ah..meski back to basics, sungguh tidak dijamin mudah untuk dilakukan. Semoga dengan mulai melakukan hal-hal dasar di atas, kita semua bisa terhindar dari praktek reformasi “petak-umpet” seperti selama ini kita lakukan. Semoga!

________
*) Pemerhati reformasi, menetap di Sawangan-Depok.





No comments: