Oleh: Eddy Satriya *)
satriyaeddy@yahoo.com
Catatan: telah diterbitkan sebagai kolom Majalah Forum Keadilan No. 44, 4 April 2004
======================
Rasa galau akhir-akhir ini mendera masyarakat calon pemilih dan partai peserta Pemilu. Perasaan pesimis dan optimis silih berganti berkecamuk di pintu hati mereka seakan ikut berpacu dengan detak hitungan mundur (counting down) menjelang hari-H Pemilu yang sudah memasuki single digit. Sungguh banyak persoalan diseputar Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang berdasarkan Undang-Undang tentang Pemilu No. 12 tahun 2003 telah diserahi tugas untuk menyelenggarakan Pemilu. Sebut saja masalah mundurnya Imam Prasodjo dan Mudji Sutrisno dari komisi karena jabatan rangkap, tender ulang komponen Teknologi Informasi (IT), tinta Pemilu, kontroversi mobil dinas, keterlambatan pencetakan kertas suara, masalah standarisasi pembuatan kotak dan bilik suara, hingga terjadinya saling tuding antara KPU dengan TNI mengenai pengiriman material Pemilu ke daerah.
Secara teoritis pihak KPU masih merasa optimis dan terlihat sangat yakin Pemilu tetap akan dapat dilangsungkan dengan baik sesuai jadwal. Ketua KPU Profesor Nazaruddin Syamsudin sendiri telah menolak untuk menetapkan kondisi darurat (Kompas, 16/3/04). Namun masyarakat juga tahu dan menyimak situasi yang berbeda di lapangan. Berbagai media cetak dan elektronik menyampaikan fakta yang tidak sejalan dengan apa yang disampaikan KPU. Sebagai contoh adalah terjadinya salah distribusi kotak suara, cacat kertas suara yang sudah sampai di lokasi, “menganggurnya” kapal dan pesawat yang sudah disiapkan TNI untuk mengangkut logistik, serta kesalahan warna surat suara untuk Partai Amanat Nasional dan Partai Golkar (Kompas, 17/3/04). Disisi lain, tidak kurang Menteri Negara Komunikasi dan Informasi Syamsul Muarif juga mengkhawatirkan beberapa masalah yang mungkin muncul dalam proses perhitungan suara sehubungan dengan perubahan sistem pemilihan (Republika, 16/3/04). Diperkirakan hingga selesai proses pemilihan Presiden, diluar faktor keamanan, berbagai masalah akan tetap menghadang. Kesemuanya itu berpotensi mengancam pesta demokrasi nasional.
***
Lalu bagaimana seharusnya masyarakat calon pemilih dan peserta Pemilu menyikapi kondisi ini? Ada beberapa hal yang harus dicermati dan direnungkan kembali. Pertama, kita harus memahami bahwa tugas KPU memang tidaklah mudah. Hal ini terlihat dari uraian tugas dan kewenangan KPU seperti tertera di website KPU (www.kpu.go.id) mulai dari merencanakan dan menyiapkan pelaksanaan Pemilu hingga menetapkan seluruh hasil Pemilu di semua daerah pemilihan.
Kedua, dibutuhkan kesabaran, ketenangan dan mawas diri yang dalam. Sesuai pasal 19 UU Pemilu, pemilihan anggota KPU telah melewati persetujuan wakil-wakil rakyat yang ada di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berdasarkan usulan pemerintah. Dengan demikian, cakap atau tidaknya anggota KPU dalam menjalankan tugasnya juga tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab semua pihak, termasuk anggota partai peserta Pemilu.
Ketiga, penyerahan urusan publik kepada suatu lembaga dan personil baru memang beresiko tinggi. Pemahaman visi dan misi, sumber daya, fasilitas kantor, koordinasi serta ruang lingkup pekerjaan yang berskala gigantic untuk wilayah negara seluas Indonesia menjadi tantangan sangat besar. Hal ini kelihatannya sangat belum dipahami para pengambil keputusan. Meninggalkan aparat Departemen Dalam Negeri dan instansi terkait lainnya yang telah berpengalaman menyelenggarakan Pemilu merupakan pengingkaran yang dipaksakan terhadap loyalitas dan kinerja birokrat. Sebaliknya menyerahkan urusan Pemilu kepada mayoritas akademisi yang masih merangkap jabatan di perguruan tinggi merupakan pelecehan terhadap jam terbang dan tidak sejalan dengan pasal 18 UU Pemilu. Dalam artikel “Jabatan Rangkap: Benarkah Sebuah Dilemma?” di portal Ikatan Alumni ITB (www.ia-itb.com) bulan Agustus 2003 lalu saya tuliskan bahwa “Mereka jelas tidak mungkin bolak-balik tanpa keringat dengan kecepatan cahaya dari Depok, Surabaya, Makassar, Bandung, dan Papua ke Jalan Imam Bonjol, Jakarta. Karena mereka juga manusia biasa seperti kita, bukan superman.”
Keempat, di atas segalanya, sebaiknya Pemilu tetap diselenggarakan sesuai jadwal. Terlalu mahal harga yang harus dibayar jika Pemilu urung dilaksanakan sesuai jadwal yang telah ditentukan. Sungguh tepat langkah yang diambil Presiden Megawati yang menugaskan pejabat terkait untuk memeriksa kesiapan pelaksanaan Pemilu di lapangan. Perkembangan yang sangat cepat telah menggiring pemerintah untuk menyiapkan langkah “darurat” yang harus diambil oleh setiap pejabat di daerah. Terbitnya Kepres No 20/2004 tentang Dukungan Darurat APBD Provinsi, Kabupaten/Kota untuk Pelaksanaan Pemilu sebaiknya dilihat dari kacamata positif.
Terakhir, menghadapi situasi seperti saat ini sebaiknya KPU tidak memaksakan pelaksanaan proses demokrasi digital (e-democracy) dalam penghitungan hasil pemilu untuk semua wilayah, mengingat kesiapan infrastruktur telematika yang masih terbatas dan belum menjangkau seluruh kecamatan, disamping kesiapan sumber daya manusia. Semoga “e-democrazy” yang pernah terjadi tahun 2000 lalu di Florida, USA, dan berbagai kekurangan lain tidak terjadi di persada Indonesia. Amin!
_____
*) Penulis adalah staf Bappenas, tinggal di Sawangan-Depok.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment