Oleh: Ir. Eddy Satriya, MA
) Makalah disampaikan dalam “Workshop Kerangka Penjenjangan Kompetensi SDM dan Kebutuhan Tenaga Kerja di Industri”, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Program Diploma (P4D), Bandung, 16-17 Oktober 2003.
2 ) Senior ICT Specialist dan Infrastructur Economist. Berkerja di BAPPENAS sebagai Kasubdit Pengembangan dan Pemanfaatan Energi. Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis dan tidak harus mencerminkan kebijakan instansi tempat penulis berkerja. Kontak: esatriya@bappenas.go.id, satriyaeddy@yahoo.com
========
1. Pendahuluan
Sektor Pendidikan Nasional memasuki perkembangan baru setelah Undang-Undang (UU) No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN) berlaku efektif terhitung tanggal 8 Juli 2003. Dalam prosesnya UU-SPN ini mendapat sorotan dari masyarakat dan para pelaku disektor pendidikan, baik yang pro maupun yang kontra. Namun demikian, berlakunya UU-SPN yang baru ini telah menjadi tonggak sejarah perkembangan Sistem Pendidikan Nasional dimasa depan yang penuh tantangan.
Perkembangan beberapa besaran makro ekonomi nasional sudah mulai memperlihatkan tanda-tanda membaik, walaupun bagi sebagian pengamat berpendapat bahwa perbaikan ekonomi kita seharusnya masih bisa lebih dipercepat lagi. Menyongsong diberlakukannya ekonomi pasar bebas dimana kompetisi dan globalisasi menjadi ciri utama, maka tuntutan tersedianya Sumber Daya Manusia (SDM) dengan daya saing tinggi menjadi suatu keharusan. Secara umum kualitas SDM kita masih tertinggal cukup jauh. Laporan United Nation Development Programme (UNDP) 2003 yang memberikan Human Development Index sebesar 0.682 hanya menempatkan Indonesia di peringkat ke-112 dari 175 negara. Kenyataan ini menunjukkan bahwa masih diperlukan berbagai usaha dan kerja keras untuk meningkatkan kualitas SDM kita, khususnya tenaga kerja yang mampu bersaing secara regional maupun internasional.
Sementara itu seperti disampaikan langsung oleh Presiden Megawati di depan sidan DPR bulan Agustus 2003 lalu, angka pengangguran secara perlahan namun pasti terus merayap naik mencapai 40 juta orang, termasuk yang berstatus setengah penganggur. Hal ini semakin menjadi tantangan dalam menyiapkan tenaga kerja terdidik dan berkeahlian. Dalam kondisi seperti ini sudah seharusnya jajaran Kementerian Pendidikan Nasional terus melanjutkan pengembangan SDM nasional secara terpadu dan terarah.
Program Pendidikan Diploma menjadi semakin penting mengingat kebutuhan tenaga kerja di masa mendatang semakin ditentukan oleh banyak faktor, terutama yang bertumpu kepada kemampuan atau berbasis kompetensi dalam menjawab berbagai tantangan dalam tatanan ekonomi baru. Tatanan ekonomi baru ditandai antara lain dengan terjadinya transformasi ekonomi industri kepada suatu bentuk ekonomi baru yang didukung oleh telekomunikasi, teknologi informasi (IT), dan jaringan multimedia semakin pintar.
Dalam situasi seperti inilah akan makin terasa pentingnya keahlian yang dimiliki oleh SDM nasional serta semakin pentingnya peranan mereka dalam memanfaatkan berbagai momentum ekonomi yang bisa datang secara mendadak dan tidak sempat diprediksi secara teliti jauh-jauh hari. Beberapa negara yang juga tergolong developing countries seperti India, China dan Phillipines telah memetik hasil dari dan berhasil memanfaatkan fenomena new economy untuk kemajuan bangsanya.
2. Sekilas Kondisi Pendidikan Tinggi di Indonesia
Walaupun belum mempunyai sejarah yang cukup panjang, sektor Pendidikan Tinggi di Indonesia telah mengalami banyak kemajuan. Sejarah pendidikan tinggi dimulai dengan hanya dua universitas yaitu Universitas Gajah Mada (UGM) di Yogyakarta yang berdiri pada tahun 1949 dan Universitas Indonesia di Jakarta pada tahun 1950. Saat ini hampir setiap ibukota provinsi telah mempunyai perguruan tinggi baik swasta maupun negeri dengan berbagai jurusan dan jenjang pendidikan mulai dari Program Diploma hingga Program Doktoral.
Sejak tahun 1978 telah dimulai pengembangan sistem pendidikan tinggi yang didasarkan pada suatu rencana strategis yang tertuang dalam dokumen berjudul "Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang", disingkat KPPTJP-1 atau KPPTJP 1975-1985. Tujuan umumnya adalah menempatkan sistem pendidikan tinggi pada kedudukan yang sebaik mungkin untuk mampu menghadapi tantangan masa depan.
Selanjutnya guna memenuhi permintaan pasar tenaga kerja, telah di kembangkan pula jalur pendidikan Diploma II dan Diploma III di 19 sekolah politeknik kerekayasaan dan tata niaga serta 6 sekolah politeknik pertanian. Sistem sekolah politeknik dibangun dengan kapasitas 23 ribu mahasiswa, yang maksimal dapat menghasilkan 7.300 lulusan di bidang rekayasa, tata niaga dan pertanian.
Dengan merujuk kepada Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang 1996-2005 , berikut ini adalah kutipan dari misi Sistem Pendidikan Tinggi untuk jejang diploma dan S-1 yang telah disesuaikan dengan wawasan masa depan hingga 2018. Yaitu menyelenggarakan fungsi kelembagaan pendidikan tinggi untuk “Menghasilkan anggota masyarakat yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak tinggi, berbudaya Indonesia, bersemangat ilmiah, serta memiliki kemampuan akademik dan suatu profesional dan sanggup berkinerja baik di lingkungan kerjanya, serta mampu menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta mengembangkan kemampuan diri terhadap tuntutan kemajuan di bidangnya, dan berperan dalam pemeliharaan dan operasi proses produksi, bagi lulusan jenjang Diploma dan S-1. “
Sayangnya, mencermati perkembangan pendidikan diploma akhir-akhir ini dan berdasarkan wawancara kami dengan para pejabat di berbagai instansi terkait ternyata belum terlihat adanya rencana pengembangan jenjang pendidikan diploma menyeluruh atau komprehensif baik yang ada di PTN, PTS, maupun di berbagai Politeknik. Hal ini tercermin dengan dikelompokkannya program pendidikan diploma kedalam kelompok vokasional.
Gambaran lebih lengkap ruang lingkup SPN sesuai dengan UU yang baru dan khususnya posisi program diploma (dalam lingkaran merah) dapat dilihat pada Gambar 1.
3. Memahami Paradigma New Economy
Banyak sekali jargon yang dilekatkan kepada new economy. New economy dikenal pula dengan banyak istilah seperti digital economy, information economy, knowledge economy, cyber economy, internet economy, network economy dan lain sebagainya. Information and Communication Technology (ICT) telah menjadi faktor pemicu utama timbulnya fenomena new economy.
Berbagai kemajuan di bidang telematika telah memberikan manfaat yang sangat besar bagi kemajuan ekonomi suatu bangsa, thus kualitas hidup manusia. Sebagai suatu bentuk konvergensi dari teknologi informasi, telekomunikasi, dan multimedia, telematika juga menciptakan berbagai peluang dalam pembangunan ekonomi sekaligus tantangan.
Gambar 1
Revolusi konvergensi dibidang telematika ini telah memberikan kontribusi yang sangat berarti sebagaimana halnya Revolusi Industri di abad ke 17. Revolusi telematika telah membuka berbagai bentuk tatanan ekonomi baru (new economy) dan transformasi sosial dimana baik kelompok negara maju maupun negara berkembang dapat memanfaatkan potensi telematika. Peningkatan pembangunan infrastruktur, pembukaan pasar dan system perdagangan baru, hilangnya berbagai monopoli penyelenggaraan telekomunikasi, dan peningkatan sistem pendidikan untuk seluruh lapisan masyarakat merupakan beberapa perkembangan ekonomi yang cukup mendasar yang dapat diberikan oleh telematika.
Secara umum telematika telah membantu mengurangi “transaction cost”, menyediakan akses informasi yang lebih murah, meningkatkan efisiensi, menyediakan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat dan lain-lain. Telematika juga dapat menjadi alat yang strategis dalam proses pembangunan nasional.
Saunders et all . (1994) menyatakan bahwa manfaat terbesar dari telekomunikasi antara lain adalah ketersediaan informasi pasar secara instan; efisiensi yang tinggi dalam transportasi; membaiknya pembangunan regional; memudahkan akses ke daerah terpencil; meningkatnya kemampuan fasilitas keamanan khususnya kondisi darurat; dan memudahkan koordinasi berbagai aktivitas internasional. Hornik (1990) mempertimbangkan telekomunikasi sebagai komplemen terhadap pembangunan. Dengan menggunakan telekomunikasi manfaat dari pembangunan dapat dengan cepat didistribusikan kepada seluruh kehidupan ekonomi. Telematika khususnya telekomunikasi oleh Wellenius (1992) dianggap sebagai salah satu faktor produksi yang penting saat ini disamping tenaga kerja dan modal. Keberhasilan pembangunan beberapa negara maju seperti Amerika Serikat telah diakui oleh Al Gore (1994) sebagai manfaat telekomunikasi yang berhasil membawa kemajuan ekonomi, memperkuat demokrasi, meningkatkan kemampuan managemen lingkungan dan kesehatan.
Namun kemajuan telematika yang tidak seimbang antarnegara; antarwilayah, antarkota dan antarkecamatan juga dapat membawa kepada apa yang dikenal dengan digital divide. Tyler (1981) telah memperlihatkan bahwa dalam suatu kondisi tertentu, telematika dapat dipertimbangkan sebagai counter-productive karena manfaat terbesar hanya diperoleh oleh segelintir orang atau sektor tertentu atas biaya ekonomi nasional. Daleiden (1990) juga mensinyalir sejalan dengan meningkatnya dan bertambahnya jenis jasa pelayanan telematika, maka kompleksitas tersebut dapat melibatkan biaya sosial (social cost) yang besar dalam hal investasi dan consumer confusion.
Berbagai sifat dan kemajuan yang bisa dijanjikan telematika seperti diuraikan telah mewarnai secara dominan kondisi industri dalam periode new economy. Memang belum ada orang yang dapat memprediksi kapan new economy akan berakhir. Namun demikian diperkirakan tenggang waktu 5 sampai 10 tahun kedepan masih akan dipengaruhi oleh new economy yang berdasarkan kepada revolusi informasi dan segala varian teknologinya yang termasuk kedalam sektor telematika.
Beberapa ciri utama new economy seperti diuraikan oleh Don Tapscott dalam Digital Economy (1996) meliputi: (1) knowledge based; (2) digital; (3) molecular; (4) virtual; (5) networking; (6) immediacy; (7) disintermediation; (8) globalization; (9) innovation based; (10) discordance; (11) prosumption; dan (12) converging industry.
Namun demikian, ditinjau dari sisi ilmu ekonomi perbedaan mendasar antara new economy atau lebih dikenal dengan economics of information dengan “old” economy atau economics of things terletak pada 5 hal prinsip seperti dijabarkan oleh Phillip Evans dan T.S. Wurster (2000). Perbedaan tersebut adalah (1) jika mereplikasi sesuatu produk dalam ekonomi konvensional memerlukan ongkos cukup besar, maka informasi dapat direplikasi dengan ongkos mendekati nihil; (2) sesuatu itu akan cepat aus, sementara informasi tidak; (3) sesuatu harus eksis atau ada di suatu tempat tertentu untuk dilihat dan diperdagangkan, tetapi informasi bisa datang dari mana saja; (4) ekonomi konvensional memiliki sifat diminishing return, tetapi ekonomi di era informasi tidak memilikinya; dan (5) sesuatu produk akan konsisten untuk pasar yang sempurna, sementara ekonomi informasi tidak memerlukan pasar yang sempurna (perfect market).
Dengan demikian dengan adanya new economy di era globalisasi dan kompetisi ini pada gilirannya juga akan merubah struktur berbagai industri.
4. Tantangan dan Prospek Program Diploma dalam Mengisi Pasar Tenaga Kerja di Era New Economy
Struktur ekspor Indonesia hingga saat terjadinya krisis moneter dan ekonomi pada tahun 1997 masih saja mengandalkan produk-produk bernilai tambah rendah dari industri padat karya. Sedangkan pada saat yang sama China, India, Phillipines bahkan Vietnam telah beranjak kepada produk IT dan produk lain yang bernilai tambah tinggi. Akibatnya tenaga kerja Indonesia menjadi tidak murah lagi dibandingkan dengan tenaga kerja yang dimiliki negara lain yang memiliki tingkat produktivitas yang lebih baik. Hal ini menjadi tantangan utama, karena terkait erat dengan rencana investasi.
Tantangan berikutnya adalah berlakunya AFTA maupun WTO pada saat kita masih belum pulih dari krisis ekonomi. Hal ini diperkirakan menjadi tantangan yang tidak mudah karena produsen tidak harus berlokasi di Indonesia. Untuk jenis produk dan proses pemasaran yang telah mampu memanfaatkan telematika, maka mereka akan mencari negara dengan tingkat keamanan yang lebih baik dan risk yang lebih rendah. Sementara kita masih cenderung hanya menjadi pasar.
Dalam 20 tahun kedepan diperkirakan struktur perekonomian Indonesia akan didominasi oleh sektor jasa, mencapai sekitar 48 % . Sementara itu pengelolaan suatu jenis jasa dan industri sudah tidak lagi bertumpu kepada satu mata rantai produksi. Maka menjadi tantangan pula untuk mengisi lapangan kerja di sektor industri yang mengutamakan berbagai kegiatan outsourcing yang semakin banyak.
Sementara itu diberlakukannya UU No.22 Tahun 1999 dan UU No 25 Tahun 1999, tidak pelak lagi semakin membuka akses partisipasi ekonomi ke daerah. Kekurangan SDM di daerah pada umumnya akan dapat diisi oleh SDM yang sudah berpengalaman dan mempunyai kompetensi baik disuatu daerah yang sama atau dari daerah lain. Alur reformasi, otonomi dan tahapan pelaksanaan yang membutuhkan SDM dapat dilihat pada Box.1 .
Penetrasi tenaga kerja dari satu wilayah ke wilayah lain akan sangat ditentukan oleh skill yg sudah dimiliki. Hal ini hanya bisa dikerjakan oleh mereka yang sudah terasah pengalaman prakteknya. Dengan kata lain, peluang SDM berkeahlian yang bisa disediakan oleh pendidikan program diploma semakin besar.
Semakin gencarnya kesadaran masyarakat untuk mengurangi praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) bisa dijawab antara lain melalui perilaku clean government dan clean corporate governance yang menekankan kepada perbaikan mutu pelayanan publik. Hal ini salah satunya dapat diwujudkan dengan mempraktekannya melalui kebijakan e-government.
Program e-government yang bertumpu kepada kegiatan di bidang telematika kembali membutuhkan tenaga terampil mulai dari menyiapkan sistem, database atau pun hanya sekedar membuat dan mengupdate suatu situs web atau website. Dengan kata lain, tenaga kerja yang dibutuhkan nanti akan bertambah secara lebih signifikan dari kelompok program diploma.
Khusus untuk penyediaan SDM di sektor telematika, kebutuhan dan ketersediaan SDM di seluruh perguruan tinggi dapat dilihat pada Box. 2.
Dengan mempertimbangkan berbagai tantangan di atas, serta memperhatikan pula keseimbangan pasokan tenaga kerja, maka prospek SDM program Diploma memasuki pasar kerja cukup besar.
Hal ini didukung oleh berbagai fakta dan kenyataan yang ada selama ini yang telah diberikan oleh program Diploma, meliputi: (1) waktu study yang relatif lebih pendek; (2) flexibilitas lamanya study yang dipilih bisa disesuaikan dengan preference mahasiswa masing-masing; (3) Gaji awal yang tidak terlalu besar sehingga memudahkan untuk masuk pasar kerja; dan (4) mutu lulusan selama in tidak kalah bersaing karena kebanyakan mahasiswa program diploma memang terlatih, terampil dan banyak dari lulusan SMU yang memang relatif lebih baik dibanding yang dari kejuruan.
5. Kesimpulan dan Saran
Memperhatikan kondisi pendidikan diploma yang ada selama ini, peluang yang dijanjikan di era new economy, serta tantangan dan prospek yang ada di berbagai sektor industri dan jasa, dapat dikatakan bahwa pendidikan program diploma telah menjadi pengisi gap tenaga kerja terampil dan berkompeten di bursa tenaga kerja.
Namun demikian untuk lebih meningkatkan partisipasi lulusan program diploma dalam pasar dan bursa kerja nasional, regional maupun internasional ada beberapa langkah yang sebaiknya diperhatikan oleh perguruan tinggi penyelenggara maupun oleh pemerintah. Hal itu adalah: (1) perlunya didirikan lembaga pemerintah sebagai pusat pengembangan industri terkait, lembaga regional sebagai pusat pengembangan industri di daerah, dan lembaga pemeriksa dan testing; (2) perlu pula didorong pendirian beberapa instansi yang menjadi inisiatif swasta tetapi didukung pemerintah seperti pusat promosi small medium industry, dan pusat teknologi informasi industri; serta (3) pendirian berbagai asosiasi terkait dengan kompetensi lulusan program diploma, pusat R/D untuk industri spesifik, pusat analisis produktivas; (4) perlu terus dicarikan cara untuk medudukkan pendidikan program diploma ke tempat yang lebih tepat dan benar dalam kerangka SPN. Kelihatannya para dosen yang mengabdikan diri di program diploma harus lebih banyak berkomunikasi dan saling tukar pengalaman kerja antar sesama penyelenggara program diploma.
Diharapkan dengan kerjasama antara komponen pemerintah, masyarakat pelaku industri serta masyarakat pengguna jasa, maka diharapkan kontribusi lulusan program diploma yang dapat masuk pasar tenaga kerja di era reformasi akan menjadi lebih besar serta semakin bermutu.
________
CATATAN AKHIR
Ditjen Dikti, Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang 1995-2005, dapat juga di down load di http://www.dikti.org/kpptjp/kpptjp.html
Ibid
Saunders, et.all. Telecommunication and Economic Development. John Hopkins Univeristy Press, Baltimore, 1994
Hornik, R. "Communications as Complement in Development". Journal of Communications, Vol. 30. No.2,
Spring 1990.
Wellenius, B. Telecommunications, World Bank Experience and Strategy. Washington, 1994
Gore, Al. Plugged into the world's knowledge, Financial Times, September 19th, 1992.
Tapscott, Don, Digital Economy 1996, New York, USA
Evans, Phillip and T.S Wurster, Blown to Bits, 2000, HBSP
BAPPENAS dan UNSFIR, Indonesia 2020: Lonr Term and Priprities, tidak dipublikasikan, hanya kalangan
terbatas.
Satriya, Eddy, dan Suyono Dikun, makalah Disampaikan dalam Seminar Nasional Quality In Research Fakultas Teknologi-
Universitas Indonesia Depok, 7 Agustus 2002.
==Karena ada gambar, pdf file bisa dilihat di website saya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment