Tuesday, June 01, 2004

KITA MEMANG BELUM SERIUS (seri tulisan reformasi)

Oleh: Eddy Satriya *)
Email: satriyaeddy@yahoo.com; esatriya@bappenas.go.id

Catatan: Telah diterbitkan pada Majalah Forum Keadilan No. 30/ 21 Des 2003

===========================================

Ada analogi menarik antara orde baru dan orde reformasi. Menjelang berakhirnya orde baru, berbagai permasalahan bangsa bermuara kepada mutlaknya kekuasaan penguasa. Sementara itu dalam era reformasi yang telah memasuki tahun ke-enam, penyebab berbagai permasalahan bangsa Indonesia saat ini telah mengerucut kepada tingginya intensitas dan kualitas tindak korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN.

Namun jika diteliti dengan lebih cermat, ternyata juga terjadi anomali. Tatkala sebahagian besar komponen bangsa tidak mampu lagi menahan kesabaran pada bulan Mei 1998, maka kita saksikan keberhasilan mereka merontokkan pilar-pilar kekuasaan Suharto yang memaksanya lengser dari tampuk kekuasaan. Namun sungguh mengherankan ketika KKN telah nyata-nyata menjadi sumber masalah bangsa di era reformasi, justru tidak terlihat upaya terprogram untuk mengurangi KKN apalagi memberantasnya. Jikapun ada, usaha tersebut hanyalah ibarat riak kecil ditengah gelombang yang maha dahsyat.

Bobolnya Bank BNI dan Bank BRI di era reformasi dengan akumulasi kerugian keuangan negara triliunan Rupiah, bertahannya ranking Indonesia dalam posisi “the big five” negara terkorup di dunia seperti dilaporkan berbagai lembaga internasional, serta dibebaskannya tersangka kasus korupsi kelas kakap, telah menjadi bukti yang tidak terbantahkan bahwa mayoritas kita -tanpa kecuali- memang “memelihara” KKN untuk berbagai kepentingan.

Mengapa KKN mampu bertahan dan bahkan makin menggila? Karena KKN telah dibiarkan menjadi semacam “lingkaran setan” yang menghubungkan tiga komponen utama. Pertama, adanya kewenangan yang diberikan kepada pejabat atau birokrat. Kedua, minimnya hukuman atau sanksi yang pernah dijatuhkan kepada pelaku KKN. Serta yang ketiga, adalah rendahnya reward baik berupa gaji maupun kesejahteraan yang diberikan kepada pejabat yang diserahi kewenangan. Lingkaran yang menghubungkan ketiga komponen tersebut dibiarkan menjadi semakin besar, kokoh, dan canggih tanpa ada upaya berarti untuk memutusnya.

Memberantas KKN berarti harus memutus “lingkaran setan” tersebut. Caranya adalah dengan memperlemah lingkaran yang antara lain dapat dilakukan melalui perbaikan moral, memperbanyak ibadat, dan memberikan teladan. Juga dengan cara memutus lingkaran tersebut. Hal itu dapat dilakukan dengan menghilangkan paling tidak salah satu komponennya. Komponen pertama, kekuasaan atau kewenangan birokrasi, jelas tidak bisa dikutak-katik. Upaya hanya bisa dilaksanakan terhadap dua komponen lain, yaitu perbaikan kesejahteraan aparat dan sanksi hukum yang ditakuti.

Memperbaiki kedua komponen itu secara serentak sungguh sangat sulit bahkan mungkin mustahil di negeri yang sudah terluka, terhinakan oleh teroris dan kembali miskin setelah krisis. Eksistensi sanksi hukum yang benar-benar ditakuti sangat minim, bahkan “nyaris tidak terdengar”. Memang perangkatnya sedang disiapkan untuk yang kesekian kalinya melalui pembentukan Tim Pemberantas Tindak Pidana Korupsi (TPTPK). Namun dari proses pemilihan anggotanya yang dianggap jauh dari nuansa reformasi, banyak pihak sudah menyiratkan rasa pesimis mereka. Dengan demikian, tidak berfungsinya perangkat hukum yang mampu membuat jera koruptor, memaksa kita untuk lebih serius menangani komponen ketiga, yaitu memperbaiki tingkat gaji. Namun sayangnya, kita kembali harus mengurut dada, karena begitu banyaknya hambatan dan belum terketuknya hati mayoritas elite pimpinan saat ini.
Perhatikanlah dengan seksama reaksi dari berbagai pihak terhadap pernyataan Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra baru-baru ini. Beliau pada dasarnya menyampaikan fakta aktual secara akurat bahwa telah terjadi ketidakadilan dalam sistem penggajian pejabat negara. Yusril utamanya mengeluhkan rendahnya gaji yang tidak sebanding dengan tanggung jawabnya. Hal yang sama juga terjadi pada Pegawai Negeri Sipil (PNS), termasuk anggota TNI dan Kepolisian. Namun bukan dukungan yang dia terima, malah pernyataan sinis dari berbagai kalangan yang dia tuai. Bahkan J.E. Sahetapi, seorang profesor yang juga politikus, menyarankan Yusril untuk mundur saja dari kabinet (Tempo, 14/12/03).

Kita juga dibuat terperangah membaca pendapat Menteri Keuangan Budiono tentang tidakbolehnya secara moral menjadikan masalah rendahnya gaji sebagai pembenaran seseorang untuk melakukan korupsi. Bahkan beliau menganjurkan untuk tidak membesar-besarkan hal itu. Padahal kenyataan di lapangan sungguh berbeda. Hanya segelintir PNS saja yang mampu mempertahankan idealisme mereka. Sebagai PNS saya menyaksikan secara langsung percepatan proses degradasi di semua lini. Singkat kata, moral sudah tidak mampu lagi menjaga tindakan mereka, pimpinan dan anak buahnya dari perbuatan KKN ketika gaji mereka hanya disesuaikan di bawah tingkat inflasi. Lantas, apakah kita memang dibolehkan beranggapan bahwa jika gaji dan tunjangan resmi dinaikkan, maka banyak elite pimpinan justru akan berkurang jauh penghasilannya? Wallahualam.

Menyerah bukanlah kata akhir. Terus-terusan berdiskusi dari berbagai sudut pandang juga membuat frustasi. Sekarang saatnya berbuat dan berkerja. Philipina, Thailand dan Korea telah membuktikannya. Mengapa tidak kita? Jika ada yang balik bertanya “Dana dari mana?” “Ah, itu kan bisa diatur!” Semoga.

*) Penulis adalah PNS biasa, bekerja di Bappenas

______

No comments: