Oleh: Ir. Eddy Satriya, MA
Catatan: Artikel ini telah diterbitkan dalam Majalah Bisnis Komputer No. 03 Edisi Maret 2004
================================
Digital divide telah menjadi topik hangat di dunia telematika sejak awal millenium baru. Sejalan dengan itu, beberapa deklarasi internasional untuk memperkecil digital divide telah pula dikumandangkan. Mulai dari Okinawa Summit di Jepang pada bulan Juli 2000 yang dilanjutkan dengan Deklarasi Tokyo bulan November 2000, hingga World Summit on Information Society (WSIS) di Geneva bulan Desember 2003 yang lalu.
Sebagai salah satu negara berkembang dengan tingkat ekonomi yang kembali jatuh ke dalam kelompok negara miskin setelah krisis, Indonesia juga tidak luput dari isu dan aktivitas untuk mengurangi kesenjangan digital tersebut. Walaupun pembangunan prasarana telekomunikasi tetap sebagai salah satu komponen utama telematika berjalan stagnan sejak akhir Pelita VI, sesungguhnya Indonesia cukup beruntung karena sistem telekomunikasi bergerak (mobile) mengalami kemajuan sangat berarti. Sampai akhir Januari 2004 ini diperkirakan negara kita telah memiliki kapasitas sekitar 29 juta satuan sambungan telepon, yang terdiri dari 9 juta lebih sambungan telepon tetap dan kurang lebih 20 juta sambungan/pelanggan telepon bergerak. Namun sebaran kapasitas tersebut tidaklah merata untuk semua wilayah pulau, kota, kecamatan hingga desa. Sesuai data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik dan Departemen Dalam Negeri yang kemudian digunakan oleh Ditjen Pos dan Telekomunikasi (Postel), dipekirakan 43.000 desa dari total 67.000 desa di seluruh Indonesia, masih belum memiliki fasilitas telekomunikasi.
Dalam rangka menutupi kesenjangan pembangunan sektor telekomunikasi, pemerintah melalui Menteri Perhubungan Agum Gumelar telah mencanangkan rencana untuk menggelar fasilitas telekomunikasi keseluruh desa yang belum terlayani hingga tahun 2005. Pembangunan fasilitas telekomunikasi untuk daerah perdesaan tersebut telah dimulai dengan membangun akses jasa telepon dasar di 3.010 desa di tanah air melalui program Universal Service Obligation (USO) yang telah diresmikan di Jakarta pada tanggal 18 Desember 2003 yang lalu (Kompas/19/12/03). Menjadi pertanyaan tentunya, apakah target program keperintisan yang nota bene tidaklah quick yielding ini akan dapat dipenuhi? Ataukah hanya akan menjadi slogan semata disaat situasi sosial, politik dan ekonomi nasional dalam kondisi sulit?
USO: Definisi dan Sejarahnya
Istilah Universal Service tercatat pertama kalinya dalam kosakata sektor telekomunikasi pada tahun 1907. Saat itu Presiden perusahaan telekomunikasi terkemuka AT&T, Theodore Vail, mempopulerkan slogan “One System, One Policy, Universal Service” dalam laporan tahunan perusahaan tersebut berturut-turut hingga tahun 1914. Para ahli sejarah dan pengambil kebijakan berpendapat bahwa konsep yang disampaikan oleh Vail tersebut mengacu kepada kebijakan untuk mempromosikan affordability jasa telepon melalui subsidi silang (Mueller Jr., 1997). Sesuai perjalanan waktu, konsep Universal Service kemudian diartikan bahwa setiap rumah tangga dalam suatu negara memiliki sambungan telepon, biasanya telepon tetap. Namun mengingat definisi di atas hanya layak untuk negara maju, maka kemudian muncul pula istilah Universal Access yang bisa dijangkau dan lebih sesuai dengan praktek-praktek di negara berkembang. Universal Access diartikan bahwa setiap orang dalam suatu kelompok masyarakat haruslah dapat melakukan akses terhadap telepon publik yang tidak harus tersedia dirumah mereka masing-masing. Universal Access ini biasanya dapat diperoleh melalui telepon umum, warung telekomunikasi atau kios sejenis, multipurpose community center, dan berbagai bentuk fasilitas sejenis (ITU, 2003). Dalam banyak literatur, kedua istilah Universal Service dan Universal Access ini kemudian sering dipakai pada saat bersamaan dan sering pula dipertukartempatkan tanpa mengubah arti masing-masing.
Sebenarnya tujuan konsep Universal Service dan Universal Access tidaklah semata-mata untuk menyediakan fasilitas telekomunikasi kepada seseorang atau kelompok masyarakat saja, tetapi adalah untuk: (a) meningkatkan produktifitas dan pertumbuhan ekonomi; (b) mempromosikan proses kohesi sosial dan politik melalui pembauran komunitas yang terisolir dengan komunitas umum/maju; (c) meningkatkan cara dan mutu penyampaian jasa-jasa publik pemerintah; (d) memacu keseimbangan distribusi populasi; dan (e) menghilangkan kesenjangan sosial dan ekonomi antara information rich dan information poor.
Program USO Ditjen Postel
Seperti telah disinggung di bagian awal tulisan, Menteri Agum Gumelar telah meresmikan penggunaan infrastruktur telekomunikasi yang dibangun melalui program USO dengan melakukan percakapan telepon ke berbagai lokasi seperti ke kecamatan Sumur, Pandeglang, provinsi Banten dan ke kecamatan Amarasi di Nusa Tenggara Timur (Kompas/19/1/2003). Ditjen Postel merencanakan untuk menyelesaikan pembangunan USO hingga tahun 2005, yang berarti akan dapat memenuhi target sesuai deklarasi International Telecommunication Union (ITU).
Adapun rincian target pembangunan USO telekomunikasi Ditjen Postel adalah: (a) Tahun 2003 pembangungan di 3.010 desa; (b) Tahun 2004 pembangunan di 17.000 desa; dan (c) Tahun 2005 pembangunan di 22.990 desa. Pembangunan pada tahun 2003 menggunakan teknologi Very Small Aperture Terminal (VSAT) dan Poertable Fixed Satellite (PFS). Untuk tahun-tahun berikutnya teknologi yang digunakan bisa bervariasi sesuai dengan keperluan yang diusahakan netral. Dalam salah satu kesempatan diskusi tentang infrastruktur pada awal Maret 2004 ini, saya pernah menanyakan perihal pendanaan USO tahun 2003 dan dijawab oleh Kadit Bina Telekomunikasi dan Informatika Ditjen Postel bahwa dana pembangunan berasal dari APBN 2003. Namun beliau tidak merinci lebih jauh apakah semua dari dana pembangunan atau diambilkan dari dana rutin yang sebenarnya sebahagian juga berasal dari Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dihasilkan oleh sektor telekomunikasi sendiri.
Pendanaan USO
Bagaimanakah pemerintah harus mendanai USO? Memperhatikan berbagai praktek di beberapa negara yang telah menjalankan program USO telekomunikasi, baik negara maju seperti USA, Canada, Australia, Norwegia, dan Itali ataupun di beberapa negara berkembang seperti Buthan, Costarica, Cuba, Pakistan dan Zambia, maka pendanaan USO ini dapat dibagi atas 5 cara (Intven & Tetrault, 2001). Kelima cara itu meliputi: (1) Market-Based Reform; (2) Mandatory Service Obligation; (3) Subsidi Silang; (4) Access Deficit Charges (ADC); dan (5) Universality Fund.
Pendekatan Market-Based Reform sudah mulai digunakan sejak dua dekade lalu di berbagai negara maju melalui privatisasi, proses kompetisi dan cost-based pricing. Pendekatan ini yang dilengkapi dengan reformasi sektor telekomunikasi terbukti telah berhasil meningkatkan mutu pelyananan jasa telekomunikasi di negara maju serta meningkatkan penetrasi secara signifikan.
Pendekatan kedua dan ketiga, yaitu Mandatory Service Obligation dan pendekatan Subsidi Silang secara tradisional lebih banyak digunakan, baik di negara maju ataupun negara berkembang. Penerima lisensi penyelenggaraan jasa-jasa telekomunikasi dimintakan kontribusinya untuk membiayai program USO. Kedua mekanisme ini digunakan untuk mensubsidi daerah yang belum memiliki fasilitas atau daerah yang karena kondisinya mengakibatkan biaya instalasi sangat tinggi. Biasanya pembiayaan berasal dari pelanggan di daerah kota ataupun dari pendapatan jasa-jasa lain. Kelebihan pendapatan di daerah “gemuk” kemudian digunakan untuk memenuhi kebutuhan biaya operasi yang tinggi ataupun margin yang tipis di daerah lain. Namun saat ini praktek subsidi silang antar jenis pelayanan, seperti tarif SLJJ mensubsidi lokal dan sejenisnya, dianggap sudah tidak praktis lagi dan anti kompetisi. Dengan semakin menurunnya pendapatan operator dari sambungan internasional dan SLJJ, maka semakin sedikit pula dana subsidi yang dapat digunakan. Banyak kritik telah diajukan para ahli terhadap kedua pendekatan tersebut sehingga banyak negara meninggalkan cara-cara ini dalam membangun fasilitas USO telekomunikasi.
Pendekatan keempat, Access Deficit Charges, telah digunakan di beberapa negara. Cara ini hampir mirip dengan subsidi silang, tetapi telah dimodifikasi sehingga memenuhi tuntutan pasar. Biasanya para operator lain membayar subsidi untuk membiayai total defisit yang dialami operator incumbent dalam penyediaan jasa lokal yang biasanya dibawah tingkat harga normal. Namun cara yang pernah dilaksanakan di Australia dan Canada ini juga dirasakan tidak efisien dan anti kompetisi. Hal tersebut telah memakasa Australia dan Canada untuk melakukan modifikasi, sementara Inggris sama sekali telah menghentikan pendekatan ini.
Pendekatan terakhir, Universality Fund atau juga dikenal dengan Universal Service Fund biasanya mengumpulkan pendapatan dari berbagai sumber seperti pendapatan pemerintah, biaya interkoneksi, biaya penggunaan frekuensi dan biaya-biaya lain yang dikenakan kepada para operator. Dana yang terkumpul dengan berbagai cara digunakan untuk mencapai misi dan tujuan universitalitas jasa sektor telekomunikasi. Dana ini pada umumnya dipakai untuk membiayai area yang memerlukan biaya pembangunan tinggi atau wilayah dimana rakyatnya berpenghasilan sangat terbatas.
Analisis
Memperhatikan rencana pembangunan USO dari pemerintah cq Ditjen Postel dan membandingkannya dengan konsep USO serta perkembangan terakhir disektor telematika beberapa hal berikut ini perlu menjadi perhatian kita.
Pertama, target penyelesaian pembangunan fasilitas USO telekomunikasi sebenarnya tidak harus buru-buru diakhiri pada tahun 2005. Salah satu butir Action Plan WSIS berisikan rencana untuk menghubungkan desa dan menyediakan akses dengan fasilitas telematika, termasuk telekomunikasi dan internet, selambat-lambatnya tahun 2015. Dengan demikian Ditjen Postel sebenarnya punya waktu cukup untuk menyiapkan formula pembangunan USO yang lebih baik, lebih terarah dan sesuai dengan kaidah yang berlaku. Pembangunan fasilitas USO yang dilakukan saat ini terasa tergesa-gesa yang tercermin dari proses penunjukan langsung kepada dua perusahaan pelaksana, yaitu PT. Citra Sari Makmur dan PT. Pasifik Satelit Nusantara. Sesungguhnya pembangunan fasilitas untuk rakyat disesuaikan dengan kebutuhan rakyat bersangkutan, bukan dikaitkan dengan berbagai kepentingan yang mungkin tidak terlalu bermanfaat bagi mereka.
Kedua, proses pendanaan USO telekomunikasi yang telah diambil sebaiknya mengacu kepada salah satu dari kelima cara yang telah diuraikan atau bentuk modifikasinya. Bisa juga pemerintah membuat suatu terobosan sendiri diluar metoda-metoda tersebut. Pendanaan lewat RAPBN sebesar Rp 45 Miliar untuk tahun anggaran 2003 dinilai kurang tepat. Hal ini membuat Ditjen Postel dan jajarannya seolah-olah “menelan ludah” sendiri dan menjadi tidak logis karena selama ini dalam berbagai “hearing” tentang kenaikan tarif telepon, salah satu alasan klasik jajaran Departemen Perhubungan adalah bahwa sejak tahun 1985 sektor telekomunikasi tidak pernah lagi mendapatkan dana pemerintah. Saat ini aturan tentang USO masih belum final. Karena itu adalah sangat baik jika Departemen Perhubungan dan Departemen Keuangan beserta instansi terkait lainnya dapat menyusun aturan baku penggunaan dana PNBP sektor telekomunikasi dengan tidak mencampuradukkan penggunaan dana pembangunan, dana rutin, dan iyuran dari para operator. Tentu saja juga harus transparan.
Berikutnya masih terkait dengan pendanaan dan partisipasi masyarakat. Mengingat peralatan telepon yang akan dipasang di desa bukanlah berupa telepon tetap biasa, maka proses penentuan lokasi di desa bersangkutan seharusnya lebih bernuansa bottom-up dan benar-benar melibatkan partisipasi masyarakat. Hal in sangat penting karena disamping pesawat telepon, rakyat setempat masih harus memelihara peralatan dan membayar iyuran bulanan untuk catu daya listrik, air time satelit dan lain-lain yang mungkin tidak murah untuk ukuran mereka. Kiranya pola dan skema pembiayaan menjadi vital demi kelangsungan pelayanan telekomunikasi. Pengalaman pahit pelaksanaan program sejenis untuk Solar Home System (SHS) di sektor kelistrikan dimasa lalu sebaiknya dicermati.
Keempat, ketersediaan dan reliability peralatan USO yang diinstalasi di daerah haruslah sesuai dengan standar internasional baik mutu maupun keandalannya. Jika suatu desa telah dapat terlayani dengan world class quality, maka diharapkan proses percepatan pembangunan melalui penyediaan informasi dan ilmu pengetahuan akan dapat mencerdaskan mereka yang pada gilirannya akan mampu meningkatkan penghasilan dan taraf hidup mereka. Bukankah dengan terhubung ke Internet, mereka tidak akan lagi terisolasi. Berbagai fasilitas yang memanfaatkan kemajuan teknologi telekomunikasi yang menggunakan Internet Protocol telah tersedia gratis. Misalnya dengan menggunakan Yahoo Messenger atau salah satu teknologi terbaru dari Skype (www.skype.com) yang diciptakan oleh sekelompok anak muda dari Estonia juga telah mampu memberikan kualitas suara sempurna. Alhasil, masyarakat di desa akan dapat berkomunikasi dengan lebih murah.
Terakhir, kiranya pembangunan fasilitas USO telekomunikasi ini juga dapat dijadikan sebagai salah satu cara untuk menggairahkan kembali industri telekomunikasi dalam negeri melalui proses outsourcing yang mensyaratkan local content cukup tinggi jika harus menggunakan peralatan atau teknologi luar. Beberapa industri nasional seperti PT. INTI, PT. LEN, dan perusahaan konsultan dalam negeri kiranya perlu diberikan porsi yang sesuai dengan keahlian mereka. Bukankah kita pernah menggunakan teknologi satelit dengan perangkat stasiun bumi yang telah diproduksi lokal di zaman orde baru dulu? Juga terbuka kiranya kesempatan untuk menggunakan berbagai teknologi alternatif untuk program USO seperti Power Line Communication (PLC) yang telah disiapkan oleh anak perusahaan PT. PLN, ataupun menjajaki berbagai kemungkinan penggunaan serat optik yang dimiliki PT.KAI dan PT. PGN (Tbk) yang melintasi berbagai daerah terpencil. Selayaknya pemerintah memperhatikan multiplier effects yang sebenarnya cukup menjanjikan di sektor telekomunikasi.
Penutup
Memperhatikan berbagai pembahasan di atas, sesungguhnya pemerintah dapat lebih tenang merencanakan program USO telekomunikasi ini sehingga mampu memberikan dampak pembangunan yang luas kepada sektor terkait dan berbagai lapisan masyarakat. Juga sudah selayaknya pemerintah, dalam hal ini Ditjen Postel, lebih bersungguh-sungguh untuk menyelesaikan dengan cepat berbagai peraturan terkait seperti Keputusan Menteri tentang USO. Semoga!
_____
Penulis adalah Senior Infrastructure Economist. Bekerja di Bappenas. Dapat dihubungi melalui satriyaeddy@yahoo.com atau esatriya@bappenas.go.id
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment