Tuesday, June 01, 2004

MENGUNGKAP RUMITNYA PENYEDIAAN INFRASTRUKTUR TELEMATIKA (Seri tulisan ICT)

Oleh : Ir. Eddy Satriya, MA*)

Catatan: Telah diterbitkan dalam Majalah Bisnis KOmputer Feb 2004

=================================

“Information and Communication Infrastructure: an essential foundation for Information Society”. Begitulah bunyi kalimat yang dijadikan sub-judul salah satu Action Plans sebagai dokumen penting hasil World Summit on Information Society di Geneva bulan Desember 2003 lalu. Kalimat tersebut menegaskan kembali peran penting infrastruktur telekomunikasi menuju terwujudnya masyarakat informasi. Sayangnya, sebagai salah satu negara berkembang, pengembangan telematika Indonesia justru masih berkutat dengan masalah minimnya infrastruktur telekomunikasi.
Bukan hanya masih sedikit jumlah dan terbatas cakupan pelayanannya, tetapi harganyapun masih belum terjangkau oleh masyarakat luas.

Memasuki tahun 2004 fasilitas infrastruktur telekomunikasi masih tergolong minim. Jumlah sambungan telepon tetap belum meningkat banyak dari posisi akhir Pelita VI lalu. Hingga kwartal ketiga 2003, jumlah kapasitas terpasang telepon tetap berdasarkan data PT. Telkom baru mencapai 9,36 juta satuan sambungan (s.s.) dengan Lines in Service sebanyak 8,24 juta s.s. Sambungan sitem telekomunikasi bergerak (STB) seluler memang meningkat cukup pesat. Saat ini STB diperkirakan sudah mempunyai sekitar 20 juta pelanggan yang terdiri dari 9 juta pelanggan Telkomsel, 6 juta pelanggan group Indosat, dan sisanya pelanggan Excelkom dan operator seluler lainnya.

Namun distribusi infrastruktur ternyata tidak seimbang. Wilayah Sumatera, DKI Jaya dan Jawa Timur saja mendominasi sambungan telepon dengan jumlah lebih dari 5 juta s.s. Sementara telepon seluler terpusat di kota-kota besar yang dimiliki oleh kalangan dengan penghasilan menengah keatas. Tidak heran kalau salah seorang direktur perusahaan telekomunikasi pernah mengaku dalam suatu pertemuan bahwa ia memiliki 9 hand phone (HP). Rinciannya adalah, 2 buah dipakai sendiri, 2 digunakan sang isteri, 3 anaknya yang sudah remaja masing-masing memiliki satu HP, dan 2 lagi digunakan pengemudi. Di suatu sisi pola penggunaan HP tersebut telah menunjukkan kemajuan dan kesadaran akan kebutuhan bertelekomunikasi, namun disisi lain menggambarkan ketidakseimbangan distribusi infrastruktur telekomunikasi yang sangat diperlukan menuju masyarakat informasi.

Sebenarnya selain infrastruktur telekomunikasi yang tergolong “dasar” seperti telepon tetap seperti diuraikan di atas, masih ada beberapa infrastruktur penting lainnya yang sangat dibutuhkan dalam pemanfaatan kemajuan Internet guna menuju masyarakat informasi, yaitu Wired Broadband, Wireless Broadband, dan Wireless Fidelity (Wi-Fi) Technology.
Wired Broadband telah mulai digunakan dibanyak negara maju yang dapat menikmati kemudahan berinternet dengan kecepatan tinggi mulai dari 256 kbit/s hingga 100 Mbit/s. Teknologi yang banyak digunakan adalah Digital Subscriber Line (DSL) yang disusul oleh cable modem, metro Ethernet, fixed-wireless access, dan wireless Local Area Network (WLAN). Data terakhir ITU (2003) menunjukkan bahwa Korea memang telah berhasil mewujudkan slogan yang dipampangkan diberbagai gedung Korea Telecomm “To Become the Cyber Leader!” dengan menempati peringkat pertama penggunaan wired broadband, disusul oleh Hong Kong dan Canada. Namun perlu pula dicatat kiranya bahwa teknologi Wired Broadband diperkirakan akan mendapat hambatan untuk pasar yang masih memiliki monopoli, kurangnya kompetisi, dan tingginya tarif untuk Internet seperti di negara kita.

Sementara itu, Wireless Broadband dikenal juga dengan layanan 3G yang sudah berkembang pesat pula diberbagai negara. Namun tambahan spektrum frekuensi untuk 3G juga menghadapi beberapa kendala seperti enggannya operator yang sudah berinvestasi besar di sistem 2G untuk menambah investasi menuju 3G, digunakannya sistem yang berbeda untuk berbagai wilayah seperti TDMA, GSM dan CDMA, serta operator CDMA biasanya lebih memilih bermigrasi ke CDMA2000 1x yang tidak membutuhkan tambahan spektrum frekuensi yang cukup mahal.

WLAN disisi lain telah menjadi alternatif penyediaan infrastruktur telekomunikasi murah yang semakin digandrungi pengguna Internet. WLAN pada dasarnya adalah teknologi yang menggunakan jaringan radio untuk menghubungkan PC atau berbagai peralatan elektronik lainnya kepada sebuah jaringan lokal (local network). WLAN dapat dioperasikan untuk penggunaan pribadi di rumah-rumah, atau dapat digunakan untuk membuat jaringan publik terbatas seperti di ruang tunggu pesawat, mall, dan lingkungan RT/RW (ITU, 2003).

Teknologi lain yang dapat digunakan untuk menciptakan infrastruktur broadband untuk Internet adalah fiber optik yang relatif cukup mahal, spektrum radio dan satelit, serta pemanfaatan Power Line Communication (PLC) melalui jaringan listrik yang telah tersambung ke rumah tangga. Mirip dengan fasilitas yang dimiliki oleh anak perusahaan PT. PLN (Persero) di atas, PT. PGN (Tbk) juga mempunyai fasilitas fiber optik yang dapat digunakan sebagai infrastruktur telekomunikasi untuk menghubungkan beberapa wilayah di Sumatera dan Jawa.
Sekarang ini sebenarnya muncul sebentuk “keresahan” di kalangan praktisi telematika. Mereka pada dasarnya semakin gelisah melihat kemandekan pengembangan telematika yang merupakan konvergensi telekomunikasi, teknologi informasi (IT), multimedia dan penyiaran. Kalau sudah begini, layak sekali dipertanyakan siapa yang telah mengerjakan apa, khususnya dibidang infrastruktur sesuai topik bahasan kita.

Sesungguhnya ada dua pemain utama dalam penyediaan infrastruktur telekomunikasi, yaitu pemerintah dan swasta atau sering saya sebut IT professionals. Pemerintah, dalam hal ini Departemen Perhubungan dan Kantor Menteri Komunikasi dan Informasi (Kominfo) telah melakukan berbagai aktifitas untuk mengembangkan infrastruktur informasi. Namun semuanya itu memang belum memberikan hasil yang memuaskan. Lihat saja penambahan kapasitas telepon tetap masih sangat minim dan hingga saat ini belum terlihat lagi updating rincian tugas penambahan kapasitas baik oleh Telkom, Indosat, dan BUMN lain yang terkait.
Sementara kapasitas telepon seluler yang telah menjadi alternatif masyarakat untuk berkomunikasi dengan biaya lebih mahal, memang telah bertambah secara signifikan. Namun “animal behavior” manusia sebagai makhluk ekonomi diperkirakan kembali akan menghambat proses percepatan penambahan kapasitas telepon.

Munculnya fixed-wireless dengan teknologi CDMA justru dianggap saingan dan ancaman oleh operator GSM yang seharusnya bisa menjadi cambuk untuk lebih efisien sehingga harga jual kepada masyarakat menjadi lebih murah. Berbagai regulasi dan kebijakan sering tidak sinkron dan tidak mendukung misi universalitas jasa telekomunikasi. Misalnya belum tuntasnya aturan tentang interkoneksi dan masih belum transparannya proses pemberian lisensi penyelenggaraan jasa telekomunikasi. Terlambatnya penetrasi Internet melalui PLC juga disebabkan antara lain oleh masalah interkoneksi dan kebijakan duopoli yang baru mengizinkan Telkom dan Indosat.

Diterimanya usulan pembayaran ganti rugi sebesar Rp 478 Milyar kepada PT. Telkom dan Mitra KSO dalam sidang kabinet terbatas pada November 2003 lalu sebagai kompensasi pencabutan hak ekslusifitas telekomunikasi juga menyentak rasa keadilan kita (Tempointeraktif, 20/11/03). Seharusnya PT. Telkom dan KSO juga berkewajiban membayarkan porsi ganti rugi kepada pemerintah Indonesia karena program KSO telah merugikan ekonomi nasional cukup besar dari pengurangan jumlah s.s., pengurangan biaya komponen diklat, pengurangan biaya penelitian dan pengembangan (R&D) dan pengurangan dana investasi USO. Kerugian ekonomi tersebut untuk jangka 10 tahun saya perkirakan mencapai angka US$ 2,5 milyar belum terhitung pajak.

Kemudian secara cukup mendadak pemerintah mencetuskan program pembangunan infrastruktur telekomunikasi di daerah Universal Service Obligation (USO) yang pelaksanaannya diserahkan melalui penunjukkan langsung kepada PT. Pasifik Satellite Nusantara (PSN) dan kepada PT. Citra Sari Makmur (CSM) dengan jumlah kapasitas dan teknologi yang berbeda. Pembangunan fasilitas telekomunikasi bernilai Rp 45 Milyar yang tersebar di 3010 lokasi ini terkesan bersifat top-down. Menjadi pertanyaan nantinya bagaimana kelangsungan fasilitas tersebut setelah selesai masa pemeliharaan, karena skema pembayaran dari rakyat yang sangat dibutuhkan untuk menutupi biaya Operasional dan Pemeliharaan (O/M) haruslah jelas. Berkaca dari kegagalan sektor ketenagalistrikan dalam melaksanakan pembangunan Solar Home System (SHS) untuk melistriki desa-desa, rasanya kekhawatiran kita sangat beralasan. Hal itu disebabkan originalisasi dan sosialisasi pelaksanaan program USO sangat diperlukan sehingga mampu menciptakan rasa memiliki bagi penduduk desa bersangkutan yang dapat menjamin kelangsungan fasilitas telekomunikasi tersebut.

Swasta dan IT professional dilain pihak masih belum mendapat dukungan yang memadai. Pakar Internet Onno Purbo harus berjuang sendirian untuk mewujudkan infrastruktur dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat berbasiskan kombinasi teknologi VOIP, Wi-Fi, dan WLAN. Belum jelasnya visi Sistem Informasi Nasional (Sisfonas) yang dicanangkan oleh Kominfo juga dikhawatirkan oleh Sekjen APJII Heru Nugroho akan mengalami hambatan dalam implementasinya (Kompas, 3/9/03). Para praktisi yang masih mengkhawatirkan berbagai langkah penertiban yang biasa diambil oleh aparat penegak hukum dan Departemen Perhubungan, akhirnya banyak yang menunggu hingga berbagai kebijakan dan regulasi disempurnakan. Praktisi dan pakar telekomunikasi selayaknya tidak patah semangat dan terus berjuang diberbagai forum baik di dalam dan luar negeri guna mencari solusi dan berbagai alternatif teknologi yang lebih sesuai dengan kondisi negara kita.

Dalam situasi seperti ini apa yang harus dilakukan? Menurut hemat saya ada beberapa langkah yang harus diambil oleh seluruh stakeholder telematika. Pertama, perlunya political will pemerintah untuk memajukan sektor telematika yang bisa diwujudkan antara lain melalui penyempurnaan berbagai regulasi dan kebijakan, pengkajian kembali tingkat keuntungan yang harus disetorkan oleh BUMN, serta pemberian keringanan bea masuk dan pajak komponen infrastruktur telematika. Kedua, menyiapkan peraturan yang mampu mendorong partisipasi pemerintah daerah untuk berinvestasi membangun infrastruktur telekomunikasi di daerahnya masing-masing. Ketiga, Mengkaji ulang dan memperbaharui kembali rencana pengembangan infrastruktur informasi secara menyeluruh seperti pernah dimulai dengan konsep Nusantara 21 dengan melibatkan segenap potensi yang ada. Selanjutnya, merangkul potensi yang ada di segenap lapisan masyarakat dan pakar telekomunikasi untuk kemudian secara bersama-sama mengembangkan infrastruktur telekomunikasi. Kelima, walaupun tidak terkait langsung, Departemen Perhubungan hendaknya mempercepat penyelesaian aturan interkoneksi dan transparansi dalam pemberian lisensi penyelenggaraan jasa telekomunikasi.

Terakhir, menyiapkan regulator untuk memonitor pasar telekomunikasi yang mampu berkerja secara profesional, berwibawa dan benar-benar independen.
Dengan diambilnya beberapa langkah di atas serta menjauhkan diri dari nuansa KKN, diharapkan peningkatan infrastruktur telekomunikasi dapat dilaksanakan guna memenuhi tuntutan sekaligus menjadi salah satu roda penggerak ekonomi nasional.

________

*) Penulis adalah Senior Telecommunication Economist. Saat ini bekerja di BAPPENAS. Dapat dihubungi melalui email satriyaeddy@yahoo.com.

No comments: