Tuesday, June 01, 2004

JAM TERBANG DI KERANJANG SAMPAH (Seri tulisan reformasi)

Oleh: Eddy Satriya, MA*)
satriyaeddy@yahoo.com & esatriya@bappenas.go.id


Catatan: Artikel ini sudah diterbitkan di Kabar Bappenas Edisi 01 Desember 2003 dan telah diedit.

==========

Berbagai media cetak dan elektronik telah mengulas peristiwa berhasilnya pendaratan darurat pesawat Citilink GA 703 di bandara Soekarno-Hatta, Jakarta pada tanggal 11 Agustus 2003 yang lalu. Disamping faktor alam dan kekuasaan Tuhan YME, kemampuan manusia kembali menunjukkan peran penting dalam peristiwa tersebut. Kapten Pilot Shindutomo dan Co-pilot Andrian Banser berperan mengendalikan pesawat, sementara awak pesawat telah mampu mencegah terjadinya kepanikan para penumpang. Ketenangan pilot membaca situasi serta ketepatan pengambilan keputusan pada saat yang sangat singkat telah menyelamatkan seluruh penumpang beserta awak pesawat itu sendiri. Jam terbang - faktor yang sering dilupakan - sangat menentukan dalam mengendalikan pesawat. Tanpa jam terbang yang cukup seorang pilot tidak akan diizinkan menerbangkan pesawat sesuai kelasnya. Tulisan ini mencoba mengambil manfaat dari keberhasilan pendaratan darurat tersebut sebagai bahan refleksi dari berbagai urusan penyelenggaraan negara yang semakin memprihatinkan.

Masih lekat dalam ingatan kita betapa faktor kekeluargaan, like dan dislike serta berbagai bentuk nepotisme lainnya telah ikut berperan memperparah kehidupan bernegara di masa lalu. Nepotisme yang diperkuat oleh unsur korupsi dan kolusi telah mematikan rasa dan nalar para pemimpin akan pentingnya jam terbang. Sayangnya pengabaian bahkan pelecehan terhadap jam terbang di era reformasi masih saja berlangsung di sekitar kita.

Adalah lumrah jika suatu jabatan memerlukan keahlian teknis tertentu, kemampuan managerial dan aspek non teknis lainnya. Di sektor swasta biasanya posisi jabatan telah disesuaikan dengan standar yang diperlukan mulai dari tingkat terendah di pabrik hingga kedudukan eksekutif puncak. Jika salah isi dengan pegawai yang tidak berkompeten biasanya bisa diganti dengan individu yang lebih cocok tanpa meninggalkan gejolak yang berarti. Dalam tataran praktis hal ini memang dimungkinkan karena gaji tinggi yang diberikan telah disesuaikan dengan produktivitas pegawai, sehingga pegawai yang tidak mampu tidak akan punya excuse.
Namun ceritanya menjadi lain untuk suatu posisi di pemerintahan. Pengalaman memperlihatkan bahwa telah terjadi berbagai pelecehan terhadap jam terbang yang sebetulnya sangat dibutuhkan dalam pengelolaan negara. Proses pengangkatan pejabat yang tidak berbasis kompetensi masih sering terjadi. Memang pada beberapa kantor atau untuk jabatan publik tertentu sudah mulai diterapkan fit dan proper test. Namun sekali lagi, berbagai test tersebut terkadang masih mengabaikan latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja sebagai dasar pertimbangan.

Masuknya politisi memimpin di Kementerian dan Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) lainnya, seperti biasa banyak diikuti oleh staf khusus yang direkrut dari berbagai sumber oleh pimpinan bersangkutan. Biasanya mereka datang dari kalangan partai sendiri, bisnis, lembaga penelitian, ataupun akademisi. Bahkan beberapa Kantor Kementerian yang tidak dipimpin oleh politisi sekali pun terlihat “kemasukan” staf ahli dadakan yang berpotensi mengecilkan peran pejabat karir di instansi bersangkutan. Jam terbang diabaikan dan aturan kepangkatan “bisa diatur”, persis seperti di era pra krisis. Alhasil, pelaksanaan berbagai urusan kenegaraan setelah reformasi tidak menjadi lebih baik, bahkan kinerja birokrasi saat ini justru terlihat memburuk.
***

Sementara itu, proses Pendataan Ulang Pegawai Negeri Sipil (PU-PNS) telah selesai dilaksanakan. Hasil PU-PNS ini, yang antara lain memuat historis pekerjaan dan pendidikan, mestinya dapat digunakan secara lebih pintar untuk memetakan kondisi yang ada serta untuk perencanaan staffing di masa datang guna meningkatkan efisiensi birokrasi sekaligus meningkatkan kesejahteraan PNS itu sendiri. Hal ini sangatlah penting dan mendasar adanya.

Presiden Megawati di awal pemerintahannya pernah menyebutkan bahwa birokrasinya adalah “birokrasi keranjang sampah”. Hingga saat inipun belum banyak perbaikan. Ibarat pesawat yang harus mendarat darurat, kondisi birokrasi memang perlu segera dibenahi. Banyak orang berteriak dan berkomentar melihat situasi ini, tapi sedikit yang berbuat. “Enough is enough!”. Perbaikan mutu birokrasi dan kesejahteraan PNS tidak harus menunggu terpilihnya “pilot” baru hingga 2004. Jika hasil PU-PNS tersebut bisa digunakan secara tepat dengan memperhatikan jam terbang, maka reformasi PNS diharapkan dapat dilaksanakan dengan lebih cepat dan lebih baik. Ini berarti suatu kemajuan besar dalam mencicil berbagai pekerjaan rumah. Sebaliknya jika hasil PU-PNS tersebut justru lebih banyak digunakan untuk menghujat PNS seperti akhir-akhir ini sering diberitakan, maka besar kemungkinan “keranjang” sampah birokrasi akan bertambah besar atau “sampah” di keranjang birokrasinya yang akan menggunung. Pilihan hanya ada satu, semoga pemerintah sekarang tidak keliru. Kita doakan pula agar Kantor Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (Meneg PAN) dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) dapat berkerja maksimal.
________
*) Penulis adalah PNS biasa, tinggal di Sawangan-Depok.

No comments: