Thursday, June 10, 2004

LOGIKA ABU-ABU ------seri tulisan reformasi---------


Oleh: Eddy Satriya *)

Catatan: Telah diterbitkan dalam Majalah Mingguan Forum Keadilan Edisi 14 Juni 2004
================================

Mencermati peristiwa demi peristiwa yang terjadi dalam berbagai aspek kehidupan bernegara akhir-akhir ini semakin mendorong kita untuk merenung. Salah satunya adalah merenungkan kembali cara berpikir, yaitu bagaimana menerapkan konsep berpikir logis dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Hal ini sangat mendasar dan penting bagi seorang dewasa. Zoran Minderovic dalam “Gale Encyclopedia of Childhood and Adolescence” (1995) mendefinisikan berpikir logis sebagai “ the ability to understand and to incorporate the rules of basic logical inference in everyday activities.” Sementara itu Jean Piaget, seorang filsuf dan psikolog terkenal Swiss, dalam bidang psikologi anak mengelompokkan anak-anak berusia 6-11 tahun kedalam concrete operations stage yang telah mulai bisa berpikir logis sehingga mampu memahami hubungan sebab akibat. Dengan memperhatikan definisi Minderovic serta pengelompokan Piaget di atas, maka sudah sepantasnya kita bertanya kepada diri masing-masing. Apakah kita benar-benar sudah mampu berpikir logis dan bertindak sebagai seorang dewasa ataukah baru sampai tahap mulai bisa berpikir logis yang masih membutuhkan bimbingan seperti anak-anak dibawah 12 tahun?

Berpikir logis sebenarnya bukanlah merupakan hal yang sulit. Namun di republik yang masih dilanda krisis ini, berpikir logis ternyata tidak gampang. Apalagi jika harus dilakukan dalam suatu proses pengambilan keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Sering sekali hal yang mudah menjadi sulit, urusan sederhana malah menjadi rumit.

Beberapa kasus berikut mungkin dapat menerangkan betapa susahnya seseorang mempraktekkan berpikir logis di negara kita. Pertama. Sebagai negara yang sedang berupaya mengatasi krisis, maka sudah selayaknya bangsa Indonesia memanfaatkan sebaik mungkin setiap kesempatan yang ada. Baik kesempatan yang muncul sebagai hasil serangkaian kerja keras ataupun kesempatan yang sekonyong-konyong datang sebagai berkah. Merebaknya wabah Severe and Acute Respiratory Syndrome (SARS) pada awal 2003 yang melanda dunia mulai dari China, Hong Kong, Taiwan, Singapura, hingga Canada, dan beberapa negara lainnya, memang merupakan musibah dalam industri pariwisata dunia. Bagi Indonesia yang relatif terbebas dari wabah tersebut, bencana SARS seharusnya dapat dilihat sebagai kesempatan emas untuk memperbaiki industri pariwisata di tanah air. Hal itu bisa dilakukan dengan menyusun dan melaksanakan berbagai variasi program promosi untuk mengalihkan kunjungan wisatawan asing ke berbagai daerah tujuan wisata (DTW) di dalam negeri.

Namun apa yang terjadi? Alih-alih mempergencar promosi dan menyatukan segenap potensi, ternyata para pengambil keputusan malah asyik berseteru dan saling silang sesama mereka. Hampir bersamaan dengan wabah SAR diawal 2003 itu, perseteruan semakin memuncak yang berujung dengan dibubarkannya Badan Pengembangan Pariwisata Indonesia.

Kedua. Pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) semakin menarik untuk disimak. Sejalan dengan kecenderungan global, Indonesia juga melaksanakan progam restrukturisasi dan reformasi prasarana dasar. Salah satunya adalah dengan meningkatkan status BUMN penyelenggara jasa prasarana tersebut. Perusahaan Jawatan (Perjan) ditingkatkan menjadi Perusahaan Umum (Perum). Perum lalu ditingkatkan lagi menjadi Persero. Pada waktunya nanti, maka Persero secara bertahap dijual kepada masyarakat. Sayangnya prasarana dasar yang jelas-jelas sarat dengan misi sosial seperti jasa pos dan giro serta kereta api diperlakukan sebagai entitas bisnis berorientasi profit. Padahal di dunia internasional sekalipun sangatlah sulit mencari BUMN sejenis yang mampu break even, apalagi meraih untung. Jutaan dolar dana pinjaman yang telah “disuntikkan” kepada BUMN penyelenggara jasa pos dan giro serta kereta api sebenarnya telah mulai berhasil memperbaiki kinerja mereka. Perum Pos dan Giro secara bertahap telah mampu mencatat untung cukup besar pada kurun waktu sebelum 1995. Begitu pula Perumka telah mampu menikmati profit untuk beberapa ruas layanan yang kemudian memberikan subsidi bagi segmen yang masih merugi.

Namun setelah menjadi Persero, mutu dan sarana prasarana layanan pos dan giro semakin menurun. Kantor Pos Pembantu Tambahan (KPTB) di dalam kota terlihat suram. Warna oranye kebanggaan mereka dibiarkan luntur. Jika anda melintas di jalan Haji Nawi Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, maka anda akan trenyuh melihat KPTB kusam yang lebih mirip toilet umum dibandingkan sebuah kantor pos bergengsi di lokasi yang “postal strategis”. Begitu pula pelayanan kereta api yang semakin memburuk dari sisi kenyamanan layanan, ketepatan waktu, apalagi dalam hal keamanan. Pengelolaan BUMN akhir-akhir ini memang semakin mengusik logika kita.
Ketiga. Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia (UI) Sarlito W. Sartono dalam tulisannya berjudul “Bank Lippo, Muchtar Ryadi dan UI” telah mengungkap permasalahan yang tengah dihadapi universitas terkemuka tersebut. Persoalannya terkait dengan sepak terjang Muchtar Ryadi dalam kancah bisnis perbankan Indonesia yang ternyata pada saat bersamaan juga berstatus, tidak tanggung-tanggung, sebagai Ketua Majelis Wali Amanah (MWA) UI (Kompas, 26/4/03). Profesor Sarlito tidak bisa menutupi kekhawatirannya atas ancaman yang mungkin dihadapi UI sehubungan dengan posisi Muchtar Ryadi sebagai Ketua MWA.

Telah menjadi semacam mainstream di Indonesia bahwa akademisi dianggap sebagai “dewa penolong” yang serba tahu untuk menjalankan kebijakan dalam penyelenggaraan negara ataupun dunia bisnis. Lihat saja Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang didominasi oleh akademisi. Demikian pula, berbagai kantor kementerian pun masih merekrut dosen dan guru besar menduduki jabatan yang seharusnya diberikan kepada pejabat karir.

Kekhawatiran pihak Senat Akademik UI akan peranan Muchtar Ryadi sebagai Ketua MWA cukup membingungkan karena logika kita menjadi bolak-balik. Bagaimana seorang pebisnis yang dijuluki “konglomerat diduga kriminal” oleh Effendi Gazali (Kompas, 10/5/03) dapat menduduki jabatan teramat tinggi, prestisius, dan mulia di lingkungan akademisi? Kita tentu merasa berhak menebak-nebak alasan pengangkatan itu. Mulai dari hal-hal wajar hingga keluar nalar. Salah satunya adalah kepiawaian Muchtar Ryadi dalam berbisnis di mancanegara dan tentu juga posisinya yang sentris disalah satu konglomerat besar di tanah air. Simbiose mutualisme. Tapi alasan itu masih sulit diterima nalar karena UI juga memiliki pakar manajemen dan orang-orang berpengalaman. Sudah hilangkah percaya diri para profesor dan pakar UI? Ataukah mereka gamang dengan status baru sebagai Badan Humum Milik Negara?

Keempat. Sebagai negara penghasil minyak bumi dan gas alam (migas), Indonesia memiliki banyak ladang eksplorasi, pabrik, kilang, tangki, dan stasiun penyimpanan dan penyaluran migas. Dalam suatu industri yang beresiko tinggi seperti industri migas, faktor keamanan (safety) fasilitas industri dan pekerja tak pelak lagi menjadi prioritas utama. Guna menunjang pelaksanaan pengamanan, biasanya berbagai tahap produksi dan peralatan yang digunakan selalu mengacu kepada standar yang berlaku di dunia internasional. Jalur pipa, kompresor, ketel pemanas, saringan, pengatur tekanan, dan peralatan lain bisanya diberi warna dan nomor tertentu guna memudahkan pelacakan jika terjadi gangguan. Warna kuning, merah, abu-abu, putih dan hitam biasanya banyak terlihat pada kilang atau stasiun migas.

Namun jika anda datang ke Stasiun Pembagi Utama Gas Bumi di Panaran, Batam, anda pasti akan terkesima. Di tempat ini pada bulan Agustus 2003 lalu telah diresmikan proses pengiriman gas pertama dari Indonesia ke Singapura. Pengiriman gas tersebut diresmikan langsung oleh Presiden Megawati dan disaksikan pimpinan tertinggi beberapa negara ASEAN, serta para Menteri Kabinet Gotong Royong dan pejabat terkait lainnya. Peresmian yang bergengsi tersebut, sungguh menggugah logika kita. Entah bagaimana ceritanya, stasiun gas yang sesuai standar internasional memang didominasi pipa dan instrument berwarna kuning telah di cat keseluruhannya menjadi hanya satu warna, abu-abu. Tidak ada lagi pipa berwarna kuning, ketel berwarna merah, dan lain sebagainya. Sekali lagi, semua menjadi abu-abu.
Cerita di atas hanyalah sebagian kecil kasus yang sangat mengusik untuk direnungkan kembali. Apakah kita sudah benar-benar mampu berpikir logis, atau harus kembali ke dalam kelompok anak-anak yang masih membutuhkan bimbingan seorang dewasa? Empat contoh di atas menunjukkan bahwa berpikir logis di Indonesia memang tidaklah mudah. Sangat banyak tantangan dan kondisi yang mampu menggagalkannya. Tidak peduli anda seorang rakyat biasa, pesuruh di suatu kantor hingga pejabat teras, intelektual muda, ataupun wakil rakyat yang terhormat.

Sulitnya berpikir logis juga melanda pemuka agama dan kiyai sekalipun. Lihatlah betapa seorang kiyai muda kondang dari kota Bandung yang sangat diharapkan untuk memperbaiki akhlak umat, ternyata juga mengalami kesulitan untuk membedakan antara menjadi pendakwah dengan menjadi presenter untuk acara talk show politik di televisi yang sesungguhnya menjadi domain orang lain.

Bagaimana pula logikanya jika seorang mantan Presiden yang tersingkir dari bursa Capres karena tidak lolos aturan KPU, kemudian menuntut ganti rugi Triliunan Rupiah? Hitam, putih, atau abu-abu jugakah logikanya? Kalau yang ini sebaiknya anda tidak usah menyiksa lagi syaraf pikir anda, tunggu saja keputusan pengadilan!

Semoga Tuhan YME mengampuni kita.

_________

*) Penulis adalah pemerhati reformasi, tinggal di Sawangan-Depok. (www.geocities.com/satriyaeddy)


&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&
For detail and others please check my website &&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&

No comments: