Wednesday, June 02, 2004

RUILSLAG SLTPN 56: TUKAR GULING ATAU GULUNG TIKAR? ---seri tulisan reformasi---

Oleh: Ir. Eddy Satriya, MA *)

Catatan: Artikel ini telah diterbitkan di Majalah Forum Keadilan 23 Mei 2004
============================

Ruilslag dalam bahasa Indonesia saat ini sering diartikan sebagai tukar guling. Tentu saja dengan tujuan saling menguntungkan bagi kedua belah pihak yang berkepentingan. Seyogyanya pula dalam proses ruilslag tidak ada kelompok lain yang dirugikan. Namun apa lacur, sebagai suatu bentuk transaksi ekonomi, selalu saja ada pihak yang ingin menangguk di air keruh. Karena itu disamping peristiwa ruilslag yang sukses tanpa gejolak, sering pula terjadi ruilslag yang mengorbankan kepentingan individu, sekelompok masyarakat, maupun negara.

Berdirinya Gedung Sapta Pesona di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta pada awal 1990-an adalah salah satu contoh ruilslag yang relatif tidak menimbulkan gejolak meski harga lahan dan jumlah aset yang dipertukargulingkan cukup besar. Pemerintah menyerahkan bekas Kantor Depparpostel dan Ditjen Postel yang terletak di kedua sisi Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat beserta tanahnya kepada PT. Telkom (dulu Perumtel), sedangkan PT.Telkom membebaskan tanah di lokasi Gedung Sapta Pesona. Sementara itu, kasus ruilslag Goro-Bulog yang berujung kepada dijatuhkannya vonis kurungan badan atas pengusaha Ricardo Gelael dan Tommy Suharto pada tahun 2000, merupakan contoh ruilslag yang merugikan negara.

Ditengah hiruk pikuk dan kesibukan komponen bangsa dalam menata demokrasi, ruilslag kembali menelan korban. Kali ini yang telah dirugikan secara langsung adalah sejumlah siswa yang bersekolah di SLTPN 56 Melawai, Jakarta Selatan. Sungguh sangat menyedihkan. Dari berbagai laporan baik di media cetak maupun elektronik jelas terlihat betapa mengharukannya kondisi siswa berseragam biru putih tersebut. Mereka terpaksa belajar di alam terbuka, berpanas berhujan, serta bercampur asap dan debu jalanan. Sebentar di lokasi parkir dan halaman sekolah, sebentar di pinggiran kios, terkadang harus kocar-kacir mencari tempat berteduh menghindari kucuran air hujan. Pernah pula mereka sangat ketakutan dan ciut nyalinya mendengar raungan sirene yang dibunyikan petugas keamanan.

Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jaya boleh saja merasa di atas angin karena menganggap telah menjalankan prosedur hukum yang benar dalam eksekusi ruilslag tersebut. Juga sah-sah saja untuk menuntut Nurlaila, sosok guru yang dianggap menyalahi aturan yang telah diterapkan Dinas Pendidikan ataupun karena dugaan mengeksploitasi siswa untuk tujuan tertentu. Namun fakta di lapangan sungguh berbeda. Banyak mata melihat dengan prihatin dan cemas menyaksikan kenyataan betapa anak-anak kita, sekali lagi anak-anak yang masih sangat belia dan polos-polosnya, secara langsung harus berhadapan dengan kekerasan khas ibukota yang dikemas dalam berbagai bentuk intrik, tekanan, bentakan, terkadang pemukulan.
***

Sebenarnya peristiwa yang dialami siswa SLTPN 56 ini dapat dikatakan mirip dengan apa yang dialami oleh sebagian mahasiswa ITB yang tinggal di asrama mahasiswa di seputar Jalan Ganesha Bandung. Tetapi itu terjadi 15 tahun silam. Pada penghujung tahun 1989, ditengah kesibukan perkuliahan dan persiapan ujian semester, beberapa Asrama Mahasiswa tiba-tiba diperintahkan untuk dikosongkan. Keputusan yang tidak pernah disosialisasikan sebelumnya telah mengakibatkan suasana kacau, panas, penuh ketidakpastian dan ancaman. Mahasiswa harus angkat kaki alias pindah mencari pondokan lain, sementara orang tua mereka mendapat kiriman surat peringatan yang meminta anaknya segera pindah. Jika tidak mau, akan dianggap membangkang dan berpotensi untuk di Drop-Out (DO).

Apabila di Jalan Melawai ada seorang guru yang tetap mengajar 64 siswa sebagai bentuk protes, maka di Jalan Ganesha pada waktu itu, sekelompok mahasiswa penghuni asrama “menghias” pohon-pohon di depan asramanya dengan gantungan kertas koran dan celana dalam. Tak ketinggalan beberapa mahasiswa dari Jurusan Seni Rupa segera membuat sebuah keranda tanda duka cita yang melambangkan matinya nurani para pendidik karena keinginan mengubah fungsi asrama menjadi tempat berbagai aktivitas yang lebih bersifat komersil. Seluruh asrama dibungkus dengan kertas koran dan tabloid. Semua usaha itu akhirnya gagal, karena ancaman DO jauh lebih menakutkan dan menciutkan nyali mereka. Akhirnya mahasiswa menyerah kalah, pindah mencari tempat kost dan kontrakan lain. Beberapa mahasiswa penghuni asrama akhirnya memang DO karena tidak siap mental dan terhimpit beratnya biaya yang tiba-tiba harus ditanggung mereka. Tradisi yang telah dibangun dan dibina bertahun-tahun pun pupus dan musnah seketika. Asrama akhirnya berganti rupa menjadi wadah aktivitas bisnis yang lebih bernilai ekonomis seperti kantor proyek, pusat penelitian maupun hotel. Sebahagian dibiarkan terbengkalai. Sementara asrama pengganti yang dijanjikan tiada pernah ada.
***

Memperhatikan kronologis ruilslag seperti dibeberkan oleh Asisten Gubernur DKI Bidang Kesra di berbagai acara televisi, diketahui bahwa proses ruilslag dimulai pada tahun 2000 antara Depdiknas dan PT. Tata Disantara (TD). Namun data lebih rinci memperlihatkan bahwa proses ruilslag telah disetujui oleh Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) pada 11 September 1998 (Tempo, 2/05/04). Depdiknas menyerahkan lahan di Melawai kepada pihak TD, sementara TD membangun sekolah pengganti di dua lokasi di daerah Jeruk Purut, Jakarta Selatan. Perlu tidaknya meruilslag SLTPN 56 seyogyanya telah dikaji dengan seksama oleh kantor Dikdasmen sebagai unit teknis di bawah Depdiknas. Menjadi pertanyaan sekarang, mengapa jajaran Depdiknas terkesan mau lepas tangan dari kasus ini? Kecenderungan itu terlihat dari pernyataan Mendiknas Malik Fadjar yang menegaskan tidak akan ikut campur dan menyerahkan sepenuhnya kepada jalur hukum (Kompas, 20/4/04).

Mencermati berbagai perkembangan terkini, kelihatannya proses sosialisasi yang tidak optimal dan ketidaksetujuan beberapa pihak terkait telah menjadi cikal bakal timbulnya protes berkepanjangan. Mirip dengan kasus asrama ITB di atas, kelompok guru, orang tua dan murid SLTPN 56 yang tidak setuju lama-kelamaan berada di posisi yang lemah. Disisi yang lebih kuat, rektorat ITB dan Ditjen Dikdasmen, tetap tegar untuk mengubah fungsi eksisting prasarana belajar mengajar menjadi tempat yang lebih bernilai ekonomis.

Kelihatannya jalan keluar penyelesaian kasus ini tidaklah mudah. Masalahnya sudah berkembang kepada berbagai hal yang semakin jauh dari misi pendidikan. Pihak TD telah mengancam untuk membatalkan ruilslag jika pengosongan lahan berlarut-larut. Bahkan Abdul Latif, Mantan Menteri Tenaga Kerja, selaku pemilik TD diberitakan akan menuntut Sutiyoso (Kompas, 24/04/04).

Tanpa perlu terjebak kedalam prosedur teknis proses ruilslag, penerapan peraturan perundangan yang berlaku saat ini, ataupun pernik-pernik di seputar penggembokan lokasi, kiranya benang merah persoalan ruilslag di SLTPN 56 Melawai dan perubahan fungsi asrama ITB di Jalan Ganesha Bandung 15 tahun silam, dengan nyata dapat terlihat. Pertama, dikalahkannya pertimbangan kelangsungan proses pendidikan oleh pertimbangan ekonomi dan bisnis semata. Kedua, diperkirakan dalam proses perencanaan awal dan sosialisasi tidak terjadi komunikasi yang intensif antara pengambil keputusan dengan seluruh pihak-pihak terkait. Terakhir, pendekatan kekuasaan dan intimidasi lebih diutamakan ketika proses ruilslag tidak lagi berjalan mulus. Alhasil, meski di alam reformasi sekalipun, ruilslag mengakibatkan pihak yang lemah harus angkat kaki dan gulung tikar.

Mungkin ada yang bertanya apa kaitannya kasus ruilslag SLTPN 56 di Jakarta ini dengan perubahan fungsi Asrama ITB di Bandung? Semestinya kasus ruilslag yang berujung ribut-ribut di Melawai ini tidak perlu terjadi, andai saja pihak Dikdasmen menjadikan kasus penggusuran Asrama ITB sebagai salah satu pelajaran. Apalagi, jika dibuka lembaran lama, Dirjen Dikdasmen yang menyetujui ruilslag di jalan Melawai tersebut adalah mantan Pembantu Rektor III ITB bidang kemahasiswaan yang juga secara langsung turun kelapangan dalam penggusuran asrama di jalan Ganesha lima belas tahun silam itu!
Ternyata kata ruilslag memang lebih banyak diartikan sebagai gulung tikar, bukan tukar guling.
______

*) Pemerhati Reformasi, tinggal di Sawangan-Depok.


&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&
For detail and others please check my website &&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&

No comments: