Oleh: Ir. Eddy Satriya, MA *)
satriyaeddy@yahoo.com
Catatan: Artikel ini telah diterbitkan di Harian Bisnis Indonesia 20 April 2004
================================
Telah terjadi perkembangan menarik dalam sejarah pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia pada tanggal 9 April 2004 yang lalu. Ditengah berjalannya penghitungan suara, sebanyak 17 partai politik peserta Pemilu telah menuntut Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menghentikan proses penghitungan yang menggunakan sistem komputerisasi (Media, 10/04/04). Sungguh suatu ironi. Tuntutan terhadap KPU tersebut terjadi justru ditengah gencarnya kampanye penggunaan komputer - lebih dikenal saat ini dengan teknologi informasi (TI) - dalam berbagai aktivitas masyarakat dan penyelenggaraan pemerintahan sebagai upaya mempersiapkan bangsa ini menuju bentuk tatanan ekonomi baru (new economy). Namun jika kita amati perkembangan yang terjadi di lapangan, kiranya permintaan penghentian proses komputerisasi penghitungan suara tersebut juga cukup beralasan.
Disamping berbagai masalah yang melilit KPU sejak tahap persiapan hingga pelaksanaan Pemilu legislatif, ternyata proses perhitungan suara pasca pencoblosan juga sangat mengkhawatirkan. Menonton sebuah stasiun TV menayangkan tabel hasil Pemilu, dengan cepat kita akan dapat melihat berbagai kesalahan kalkulasi seperti urutan partai dengan jumlah suara yang lebih besar berada dibawah partai dengan suara yang kecil, kesalahan persentasi, dan lain-lain. Selain kesalahan input, kalkulasi, dan tabulasi, kesalahan mendasar seperti seringnya server down dan terjadinya reset ulang di Pusat Tabulasi Nasional pada hari Selasa 6 April 2004 yang berlokasi di sebuah hotel berbintang juga tidak terelakkan.
Kesemuanya itu tentu saja menjadi sisi gelap bagi kampanye pelaksanaan program E-Government yang tengah dikumandangkan Kantor Kementerian Negara Komunikasi dan Informasi (Kominfo ) sesuai dengan Instruksi Presiden No 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan E-Government. Menjadi pertanyaan bagi kita, apakah bangsa Indonesia ini benar-benar telah siap memasuki era globalisasi dan mengambil manfaat sebesar-besarnya untuk kesejahteraan seluruh rakyatnya? Tulisan ini menelusuri kisruh sistem TI-KPU sebagai salah satu aplikasi E-Government (e-gov) yang justru sedang gencar dikembangkan diberbagai kantor dan wilayah di Indonesia.
***
E-gov didefinisikan sebagai upaya pemanfaatan dan pendayagunaan telematika untuk meningkatkan efisiensi dan cost-effective pemerintahan, memberikan berbagai jasa pelayanan kepada masyarakat secara lebih baik, menyediakan akses informasi kepada publik secara lebih luas, serta menjadikan penyelenggaraan pemerintahan lebih bertanggung jawab dan transparan kepada masyarakat (Satriya, Perencanaan Pembangunan No. 30/2003).
Dalam pemanfaatannya untuk pembangunan, diperlukan pemahaman atas beberapa prinsip dasar bahwa e-gov (1) hanyalah alat; (2) mempunyai resiko terhadap integrasi data yang sudah ada; (3) bukanlah pengganti managemen publik dan kontrol internal pemerintahan; (4) masih diperdebatkan peranannya dalam hal mengurangi praktek KKN; (5) masih diragukan untuk dapat membantu mengurangi kemiskinan; dan (6) memerlukan kerjasama antar ICT profesional dan pemerintah.
Sebagai salah satu aplikasi telematika yang termasuk baru dibidang kepemerintahan, maka diperlukan waktu dan proses sosialisasi yang memadai agar para pelaku birokrasi dan masyarakat mampu memahami e-gov untuk kemudian mendayagunakan potensinya dan tidak terjebak kepada paradgima lama, yaitu kegiatan yang hanya berorientasi keproyekan.
Tahapan pelaksanaan e-gov biasanya disesuaikan dengan karakteristik negara masing-masing. Ada negara yang mendahulukan perdagangan dan e-procurement, ada yang memprioritaskan pelayanan pendidikan, dan ada pula yang mengutamakan kerjasama regional. Secara umum tahapan pelaksanaan e-gov yang biasanya dipilih adalah (1) membangun sistem e-mail dan jaringan; (2) meningkatkan kemampuan organisasi dan publik dalam mengakses informasi; (3) menciptakan komunikasi dua arah antar pemerintah dan masyarakat; (4) memulai pertukaran value antar pemerintah dan masyarakat; dan (5) menyiapkan portal yang informatif (Wescott, 2001).
***
Memperhatikan perkembangan proses perhitungan suara seperti dikhawatirkan oleh partai politik dan masyarakat pemilih, dan dengan merujuk kepada karakteristik e-gov seperti telah diuraikan di atas, kiranya kita dapat mencermati beberapa hal yang mencerminkan kegagalan pemahaman konsep e-gov untuk perbaikan di kemudian hari.
Pertama, secara umum harus diakui bahwa tingkat kesadaran (awareness) masyarakat Indonesia akan potensi e-gov masih tergolong rendah. Ironisnya lagi hal ini bukan saja berlaku untuk masyarakat umum, tetapi juga untuk sebagian besar masyarakat yang tergolong berpendidikan, para pejabat, maupun para elite parpol. Keengganan untuk menggunakan fasilitas komputer yang telah terbukti sangat membantu pekerjaan seperti perhitungan berskala besar dan rumit ternyata masih cukup tinggi. Rendahnya tingkat kesejahteraan sebagian besar penduduk telah memaksa mereka memprioritaskan pemenuhan kebutuhan primer sehari-hari, dibandingkan kebutuhan akan informasi dan iptek.
Kedua, penyelenggaraan perhitungan hasil Pemilu dengan sistem TI-KPU jelas tidak sejalan dengan kaedah yang berlaku dalam tahapan pelaksanaan e-gov. Pada saat ini memang sudah cukup banyak kantor-kantor pemerintah yang memiliki email dan jaringan yang menyediakan Internet. Namun masih terdapat beberapa kesenjangan dalam pemahaman dan penerapan e-gov. Secara umum, Indonesia baru dapat dikatakan memasuki tahapan kedua yaitu meningkatkan kemampuan organisasi dan publik dalam mengakses informasi. Sedangkan tahapan-tahapan berikutnya masih belum terlaksana secara merata. Sebagai contoh, sering kali untuk menghubungi suatu kantor atau administrator suatu situs, kita mengalami kesulitan mencari nomor email ataupun telepon yang diperlukan. Pada kondisi seperti inilah, kemudian KPU menerapkan TI untuk menunjang pelaksanaan Pemilu, khususnya perhitungan suara. Seperti pernah saya kemukakan dalam sebuah kolom majalah, sesungguhnya sudah dapat diperkirakan bahwa penggunaan e-democracy terlalu dini yang merupakan tahapan advanced e-gov dalam masyarakat Indonesia akan berujung kepada kegagalan karena faktor keterbatasan infrastruktur dan faktor SDM (Forum, No 44 April 2004).
Selanjutnya, visi dan misi KPU tentang penggunaan TI dalam mendukung kegiatan pendataan pemilih, penentuan partai dan para calegnya, proses dan mekanisme penghitungan suara, hingga tabulasi hasil perhitungan suara tidak terlihat dengan jelas dari awal. Padahal bangsa ini sudah pernah sukses menggunakan pekerjaan sejenis dengan skala berbeda sejak dua puluh tahun lalu, yaitu di awal tahun 1980-an. Untuk proses penghitungan suara di tingkat TPS, saya membayangkan bahwa setiap TPS sudah mempunyai kertas computer form seperti digunakan dalam Tes Masuk Perguruan Tinggi Proyek Perintis dan Tes Sipenmaru yang hanya memerlukan proses penghitaman bulatan-bulatan terkait sebagai hasil perhitungan per TPS baik untuk partai maupun caleg. Kemudian computer form tersebut tinggal di-scan dan dikirimkan via e-mail dari setiap Kecamatan atau Kabupaten/Kota ke data center KPU untuk selanjutnya ditabulasikan hasilnya secara otomatis lewat program sederhana yang bisa dikerjakan oleh kebanyakan praktisi ataupun mahasiswa TI. Tapi ternyata jauh panggang dari api!
Keempat, sebenarnya proses tender perangkat TI sejak awal sudah bermasalah. Banyak sekali protes yang telah dilayangkan oleh berbagai pihak yang berminat untuk ikut serta mendapatkan bagian pekerjaan TI ini. Protes yang diajukan bukan hanya karena masalah transparansi pelaksanaan, proses pemilihan dan pengumuman pemenang, tetapi juga banyak profesional TI yang berpendapat bahwa pengadaan perangkat bisa dihemat secara signifikan seandainya mempertimbangkan perangkat keras dan perangkat lunak yang berbasis open source. Banyaknya protes mencerminkan belum terjadinya komunikasi antara masyarakat dan KPU yang merupakan salah satu tahapan penting e-gov.
Terakhir, salah satu prinsip dasar penerapan e-gov juga tidak dilaksanakan. Ini merupakan suatu kekeliruan. Yaitu tidak mengikutsertaan para profesional dan praktisi TI secara optimal yang justru sangat berpengalaman di lapangan. Penulis sendiri masih ingat diundang rapat untuk pertama kali membahas persiapan sistem TI KPU yang pada saat itu dipimpin oleh rekan Imam Prasodjo. Sayangnya ternyata KPU hanya mengadakan rapat formalitas untuk mengundang banyak pihak, tapi selanjutnya mereka kelihatannya tidak dilibatkan lagi. Pihak KPU lebih merasa aman menggandeng para dosen dan peneliti dari beberapa perguruan tinggi. Hal ini berakibat sangat fatal yang tercermin dari pemilihan topology jaringan sistem terpusat yang sangat rentan terhadap stagnansi proses perhitungan dan penggunaan jaringan Telkomnet Instan yang belum teruji (Detikcom, 6/04/04). Sifat menutup diri KPU juga disesalkan oleh Meneg Kominfo Syamsul Muarif yang sempat pula menghimbau para hacker untuk tidak mengganggu server KPU, mengingat tanpa diganggu pun sistem TI KPU kadang-kadang tidak bisa jalan (Detikcom, 5/04/04). Untuk Pemilu yang berskala besar dan ruang lingkup nasional, seyogyanya KPU tidak “berjudi” dengan penggunaan TI yang tidak terencana dengan baik.
Nasi sudah menjadi bubur, dan Indonesia is a nation in waiting, still!
_______
*) Penulis adalah Analis Infrastruktur dan Masalah Sosial. Berdomisili di Sawangan-Depok.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment