Wednesday, June 02, 2004

PENTINGNYA KELEMBAGAAN DALAM PENGEMBANGAN TELEMATIKA --- seri tulisan ICT ---

Oleh : Ir. Eddy Satriya, MA*)

Catatan: Artikel ini telah diterbitkan di Majalah Bisnis Komputer Edisi 20 Mei-20 Jun 2004
========================

Dalam suatu seminar teknologi informasi yang diselenggarakan pada tanggal 28 April 2004 di sebuah hotel berbintang di Jalan Kuningan, Jakarta Selatan, seorang peserta mengajukan pertanyaan yang tergolong usang, tapi mendasar. Peserta tersebut mempertanyakan bagaimana kabar beritanya konsep infrastruktur telematika Nusantara-21 yang pernah digagas pemerintah di zaman orde baru dulu. Pertanyaan dalam seminar yang diadakan oleh Ikatan Alumni Lemhanas (IKAL) beserta beberapa perusahaan IT tersebut ditujukan kepada Deputi Kantor Meneg Komunikasi dan Informasi (Kominfo) Cahyana Ahmadjayadi yang dikalangan praktisi telematika dikenal dengan pembuat konsep Sistem Informasi Nasional (Sisfonas) sebagai langkah baru pengembangan infrastruktur telematika saat ini.

Pertanyaan itu dikatakan serius karena dua hal. Pertama, pertanyaan peserta tersebut cukup tajam dan jeli melihat perkembangan telematika yang saat ini dirasakan masih belum maksimal karena belum sinkronnya penyediaan infrastruktur informasi dan aplikasinya. Kedua, ternyata masih ada yang penasaran dan memperhatikan perjalanan panjang telematika Indonesia dengan mempertanyakan dua konsep infrastruktur yang berbeda dengan tujuan sama. Singkat kata, selain menggugat perlunya integrasi kebijakan infrastruktur dengan kebijakan aplikasi peserta tersebut sekaligus mempertanyakan faktor kelembagaan dan produknya dalam pengembangan telematika nasional.
Memang faktor kelembagaan atau institusi merupakan salah satu kelemahan yang ada dalam pengembangan telematika saat ini. Urusan infrastruktur telekomunikasi dan berbagai kebijakan pengembangannya masih menjadi tanggung jawab Ditjen Pos dan Telekomunikasi (Postel), Departemen Perhubungan. Sementara berbagai aktivitas pengembangan aplikasi dan strategi pemanfaatan IT, Rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dan lain-lain, menjadi kewenangan Kominfo yang sekaligus menjadi Ketua Pelaksana Tim Koordinasi Telematika Indonesia (TKTI). Padahal secara konseptual, telah terjadi konvergensi antara telekomunikasi, IT, multimedia dan penyiaran yang semakin sulit untuk dikotak-kotakan.

TKTI: revisited.

TKTI pertama kali secara formal dibentuk melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 30/1997 yang intinya berisikan langkah-langkah strategis untuk meningkatkan kemampuan telematika nasional. TKTI pada waktu itu diketuai oleh Menteri Koordinasi Bidang Produksi dan Distribusi (Menko Prodis). Adapun anggotanya meliputi 11 Kementerian yang terkait dengan tujuan TKTI. TKTI betugas antara lain: (a) merumuskan kebijaksanaan pemerintah bidang telematika; (b) menetapkan pentahapan dan prioritas pembangunan serta pemanfaatan telematika; (c) melakukan pemantauan dan pengendalian atas penyelenggaraan telematika; dan (d) melaporkan perkembangannya kepada Presiden.

Mendahului keluarnya Keppres tersebut, kerja keras dan berbagai rapat koordinasi terus dilaksanakan yang diikuti oleh pemerintah yang dimotori oleh Staf Menko Prodis, Ditjen Postel, Depdagri, Bappenas, Depperindag, Depkeu dan instansi terkait lain, serta praktisi telekomunikasi di BUMN seperti PT. Telkom, PT. Indosat, PT. INTI, pihak swasta nasional dan Masyarakat Telekomunikasi (Mastel) yang didukung oleh berbagai Asosiasi industri telekomunikasi. Ketika itulah dilahirkan konsep Nusantara-21 seperti tercantum dalam buku Gambaran Umum Pembangunan Telematika Indonesia (Edisi II, 1998) yang secara garis besar memiliki tiga sasaran untuk menyediakan prasarana informasi yang meliputi: (a) Adi Marga Kepulauan (Archipelagic Super Highway); (b) Kota Multimedia (Multimedia Cities); dan (c) Pusat Akses Masyarakat Multimedia Nusantara (Nusantara Multimedia Community Access Center). Sayangnya konsep ini sudah tidak terdengar lagi seiring pergantian pemerintah dan kendali organisasi TKTI pada tahun-tahun berikutnya.

Tim Koordinasi Telematika Indonesia (TKTI) sudah mengalami pergantian empat kepala negara - tahun ini yang kelima - dan hampir sepuluh kali perubahan struktur kabinet sejak dibentuk melalui Keppres no 30 tahun 1997. Setelah dari Kantor Menko Prodis, TKTI diatur dari Kantor Menteri Koordinasi Ekonomi Keuangan dan Pengawasan Pembangunan (Menkoekuwasbang). Pada awal masa kerja Kabinet Pembangunan VII Presiden Soeharto telematika diurus dari Kantor Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan dan Industri/Ketua Bappenas (Menko Ekuin/Ketua Bappenas). Setelah runtuhnya pemerintahan orde baru pada tahun 1998, maka telematika kembali “menggeliat”. Berbagai berbagai aktivitas telematika sudah mulai berjalan di bawah koordinasi Kantor Menteri Penertiban Aparatur Negara (Menpan) yang merupakan Ketua Pelaksana Harian TKTI. Namun karena sifatnya yang hanya koordinatif dan adhoc dimasa lalu, maka kinerja TKTI belumlah dirasakan maksimal oleh pihak swasta dan masyarakat.

Bentuk, fungsi dan organisasi TKTI kembali diperbaharui melalui Keppres 50/2000 yang menugaskan Kominfo sebagai pengendali pengembangan telematika nasional. Beberapa produk penting telah dihasilkan dalam periode ini. Bappenas berkerjasama dengan Universitas Indonesia telah merumuskan NITF yang laporan akhirnya telah disampaikan kepada Bank Dunia dan TKTI sekitar bulan Februari 2001 (www.bappenas.go.id - KTIN). Dalam NITF pengembangan blue print dan milestone telematika dibagi kedalam beberapa framework yaitu basic framework, institutional framework, financial framework dan regulatory framework.

Berbagai tujuan, konsep dan strategi pengembangan telematika serta waktu pelaksanaannya telah dirinci dalam upaya mewujudkan terciptanya masyarakat telematika nusantara yang berbasiskan ilmu pengetahuan di tahun 2020. Pada akhir April 2001, TKTI berhasil pula merumuskan konsep pengembangan dan pemberdayaan telematika seperti diuraikan dalam Inpres 6/2001 berikut Action Plan yang dibuat secara bersama-sama dengan berbagai instansi terkait, termasuk swasta dan massyarakat telematika. Namun sebagaimana halnya dengan Nusantara-21, semua konsep di atas juga sudah tidak terdengar lagi gaung dan tindak lanjutnya.
Kemudian pada awal tahun 2003, Keppres baru kembali diterbitkan tentang TKTI yaitu Keprres No. 9/2003. Kali ini TKTI diketuai langsung oleh Menteri Negara Kominfo beranggotakan 7 pejabat lain setingkat Menteri.

Infrastruktur Telekomunikasi

Sudah sering dibahas bahwa terbatasnya infrastruktur telekomunikasi dan kurangnya kebijakan yang mendorong investasi masih menjadi kendala utama pengembangan telematika nasional. Rumitnya penyediaan infrastruktur telekomunikasi telah dibahas sebelumnya. Dari sisi regulasi dan kebijakan makro, International Telecommunication Union (ITU) dalam World Telecommunication Development Report, 2002 telah memberikan kunci untuk melihat tingkat keberhasilan reformasi sektor telekomunikasi. Ada tiga hal utama yang menjadi ukuran, yaitu (a) partisipasi swasta; (b) kompetisi; dan (c) regulator independen.

Sayangnya untuk negara sebesar Indonesia yang pernah berprestasi cukup baik di sektor telekomunikasi, termasuk satelit, ketiga indikator tersebut secara umum mengalami penurunan. Partisipasi swasta sejak dihentikannya Kerja Sama Operasi (KSO) untuk sebagian besar wilayah kerjasama, “nyaris tidak terdengar”. Pembangunan telepon tetap yang dilaksanakan oleh Telkom dan Indosat dalam skala relatif kecil, dapat dikatakan stagnan. Sampai saat ini belum terlihat lagi langkah terobosan dalam hal pengikutsertaan swasta untuk membangun fasilitas telekomunikasi, khususnya telepon tetap. Kalaupun ada, investor lebih melirik kepada jenis jasa telekomunikasi lain seperti telepon seluler dan jasa nilai tambah lainnya.

Kompetisi penyelenggaraan telekomunikasi juga tidak terjadi. Duopoli telekomunikasi oleh Telkom dan Indosat masih belum mampu memberikan hasil kompetisi yang ditunggu-tunggu masyarakat, yaitu kemudahan dan murahnya tarif. Malah sebaliknya Telkom pada 1 April 2004 menaikkan tarif lokal yang diperkirakan berdampak cukup luas dalam pengembangan dan pemanfaatan telematika untuk sektor riil. Singkat kata, kompetisi sebagai kunci keberhasilan reformasi sektor telekomunikasi juga tidak terjadi. Duopoli atau bahkan “tripoli” dalam berbagai prakteknya di negara lain umumnya memang terbukti gagal membawa berbagai perbaikan seperti penurunan tarif, menambah pilihan bagi konsumen ataupun memacu inovasi. Pengalaman duopoli British Telecom dan Mercury ditahun 1980-an memperihatkan hal yang sama dengan duopoli Telkom dan Indosat saat ini. Penambahan fasilitas telekomunikasi di Inggris baru terjadi pada 1990-an setelah dibukanya kesempatan bagi operator Cable TV untuk menyelenggarakan jasa telekomuniasi. Sedangkan faktor ketiga yaitu regulator independen, juga belum menggembirakan. Jika dilihat dari sisi pertanggungjawaban, organisasi, dan sumber pendanaan, maka Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) yang terbentuk berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan tahun 2003 yang lalu belumlah tergolong independen. Hal ini memang diakui oleh Menteri Perhubungan Agum Gumelar, bahwa BRTI yang ada sekarang adalah bentuk peralihan menuju badan regulasi yang betul-betul independen nantinya.

Kelembagaan pengelola telekomunikasi dari dulu juga mengalami banyak perubahan. Pada awal orde baru urusan telekomunikasi berada dibawah Departemen Transportasi. Memasuki Pelita IV, telekomunikasi kemudian diurus dalam Departemen Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi (Parpostel). Selanjutnya hingga saat ini telekomunikasi kembali digabungkan dengan Departemen Perhubungan. Namun dari berbagai perubahan departemen yang terjadi, ada satu hal yang tetap, yaitu kondisi bahwa telekomunikasi secara teknis diurus secara “berkelanjutan” dibawah Ditjen Postel. Terjadinya semacam ekslusivisme dilingkungan Ditjen Postel ini memang bertendensi menyulitkan pembinaan dari Departemen yang juga harus berkonsentrasi kepada masalah perhubungan dalam negeri. Hal ini tercermin dari kuatnya arus penentangan berupa pernyataan bersama karyawan Ditjen Postel yang menolak rencana penggabungan pada masa awal pembentukan Kabinet Gotong Royong dulu.

What Next?

Memperhatikan kondisi reformasi sektor telekomunikasi di Indonesia dan rencana pengembangan telematika yang masih jauh dari harapan, kiranya menjadi tantangan sangat berat dikemudian hari untuk menyiapkan suatu lembaga - berupa departemen teknis atau lembaga non departemen - yang mampu memperbaiki situasi ini. Hal ini semakin diperlukan mengingat dampak globalisasi yang semakin menuntut pengembangan ekonomi berbasis ilmu pengetahuan (Knowledge Based Economy-KBE), bukan lagi mengandalkan sumber daya alam semata.
Sudah sepatutnya berbagai komponen bangsa dibawah pemerintahan baru terpilih nanti untuk bersatu memulai paradigma baru pengembangan ekonomi yang ditunjang oleh kemajuan dibidang telematika. Karena itu faktor kelembagaan menjadi sangat penting. Kiranya dalam pemerintahan mendatang dapat diwujudkan suatu departemen teknis atau suatu badan yang menyatukan KBE, infrastruktur telekomunikasi, dan rencana pengembangan IT.

Singkat kata, sudah waktunya dilaksanakan peleburan instansi yang mengurusi telekomunikasi dengan instansi yang mengurusi IT. Perlu diingat, infrastruktur dan aplikasi barulah merupakan dua komponen. Masih ada beberapa komponen lain yang tidak kalah pentingnya antara lain Sumber Daya Manusia telematika, Penelitian dan Pengembangan (R&D), dan pembinaan industri dalam negeri. Diharapkan redefinisi kelembagaan ini selain mempercepat proses untuk mewujudkan masyarakat informasi sesuai target WSIS, juga mampu melakukan penghematan sumber daya nasional.

_______

*) Penulis adalah Senior Infrastructure Economist. Berkerja di Bappenas. Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis, tidak harus mencerminkan kebijakan tempat penulis bekerja. Dapat dihubungi di esatriya@bappenas.go.id




&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&
For detail and others please check my website &&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&

No comments: