Wednesday, June 02, 2004

NGUYEN SON ---- (Seri tulisan reformasi)

Oleh: Eddy Satriya *)

Catatan: Artikel ini telah diterbitkan di Majalah Forum Keadilan Edisi 9-16 Mei 2004

==================

Lewat tengah malam di musim dingin yang cukup menusuk pada akhir Desember 1998 yang lalu, seseorang terdengar mengetuk pintu kamar saya di Pusat Pelatihan Japan International Cooperation Agency (JICA) Hachioji yang terletak sekitar 40 km sebelah barat Tokyo. Ketukan yang pelan, tapi cukup meyakinkan saya bahwa seseorang menunggu diluar. Saya yang masih belum bisa tidur dengan hati-hati tanpa menimbulkan kegaduhan segera membuka pintu. Betapa kaget saya ketika menyaksikan Nguyen Son, rekan sesama peserta training yang berasal dari Vietnam, berdiri terpaku di depan pintu dengan raut muka yang sangat gelisah.

Son, seorang mantan tentara Vietnam, kemudian saya persilakan masuk ke dalam kamar yang sempit agar tidak mengganggu penghuni lain. Segera saja saya berondong dia dengan pertanyaan, terutama mencari tahu kenapa dia ingin bertemu dan kelihatan seperti ingin membicarakan hal yang sangat serius. Segera saya menduga-duga. Mungkin ia membutuhkan bantuan dalam menyelesaikan beberapa tugas-tugas yang memang sedang dikerjakan berkelompok. Atau mungkin ia masih membutuhkan bantuan untuk menerangkan beberapa kalimat dalam bahasa Inggris yang memang tidak terlalu mudah untuk dipahaminya. Son yang pernah lama menjalani berbagai pelatihan di Rusia dulu memang lebih fasih membaca dan bicara dalam bahasa Rusia, ketimbang bahasa Inggris.

Saya juga mencoba mengingat-ingat kejadian di ruangan komputer dimana kami sebelas peserta dalam satu group training menghabiskan sisa waktu 2 minggu terakhir. Tidak ada kejadian luar biasa. Kami peserta pelatihan dari Vietnam, Filipina dan Indonesia semuanya sibuk dan asyik berkerja kelompok menyelesaikan tugas-tugas. Memang ada yang bercanda, bersenandung, menikmati makanan kecil atau minuman ringan dari “vending machine”. Namun tidak ada cekcok di antara kami. Semua berlangsung biasa-biasa saja.

“Eddy-san please help me, I could not sleep!” demikian Son membuka pembicaraan dengan raut muka kusut, tetap gelisah dan menunjukkan rasa bersalah karena sudah larut dan mengganggu waktu istirahat saya. Setelah menarik nafas dan memperhatikan air mukanya, saya pastikan bahwa saya tidak merasa terganggu. “Daejobu desu!” kata saya mencairkan suasana. Perlahan kegelisahan Son terlihat berkurang. Tapi rasa penasaran justru menghantui saya. Apa gerangan yang membuat kawan saya ini begitu tersiksa? Saya tunggu. Son masih terdiam. Saya makin penasaran. “Please Son, tell me what’s wrong?” sergah saya. “I am sorry Eddy. Please forgive me!” Son melanjutkan. Saya hampir kehilangan kesabaran, ketika Son meneruskan kata-katanya, “Eddy, I ate your peanuts, I ate a lot!“

Seketika saya teringat akan kacang Pistachios kesukaan saya ketika melanjutkan pendidikan di USA dulu. Saya memang membeli kacang tersebut di pasar Ueno yang terkenal dengan harga miring dan ingin menikmatinya bersama teman-teman di ruangan komputer saat “begadang” menyelesaikan tugas-tugas. Jadi sungguh bukan hal yang perlu dimintakan maaf kata hati saya. Otomatis saya menjawab “It’s Okay. No problemo!” jawab saya sambil berusaha bercanda agar Son tidak terus gelisah. “No, No it is not Okay, Eddy!” jawabnya. Saya mulai pusing dan kehabisan akal. “I ate a lot and never told you!” kembali dia berucap sambil menunduk tanpa berani menatap saya. Seketika itu juga saya peluk dia. Dada saya gemuruh, batin saya pun terkucak hebat.
***

Son seorang mantan tentara Vietnam sampai tidak bisa memejamkan mata hanya karena ia memakan makanan ringan dan lupa mengucapkan terima kasih. Mungkin ia sendiri tidak tahu persis siapa yang membawa kacang tersebut karena sudah terlanjur digabung dengan makanan lain ketika masuk ruangan komputer. Hampir satu jam sebelum mengetuk pintu saya, ia rupanya sibuk mencari tahu siapa yang membawa kacang Pistachios tersebut. Dan ketika mengetahuinya ia pun segera mengetuk pintu untuk minta maaf. Bukan karena hanya lupa mengucapkan terima kasih, tetapi terutama karena merasa telah memakan lebih dari takaran yang seharusnya ia lakukan dalam kesehariannya. Ia merasa mengambil lebih dari patut. Son yang seorang mantan tentara tidak bisa memejamkan matanya karena rasa bersalah. Merasa bersalah ketika menyantap makanan enak untuk pertama kali. Merasa bersalah karena merasa mengambil bagian lebih banyak dari patut. Maha Suci Allah!

Masih adakah sosok seperti Nguyen Son ini di bumi Indonesia? Tak perduli sipil, militer, atau purnawiarawan. Tak perduli cendekia, ulama, atau dari kaum papa. Tak juga perduli apakah engkau dari partai dan kubu mana. Kalau ada, tampillah engkau memimpin negeri ini dari keterpurukan. Tunjukkan disamping belasan atau puluhan kriteria yang ditetapkan dan dijadikan bahan talk show, engkau masih memiliki secuil sifat dari seorang Nguyen Son yang tidak mau mengambil lebih dari patut. Sifat yang rendah hati, tahu diri dan, sekali lagi, mau menyisakan untuk orang lain. Semoga!

_____

*) Penulis adalah PNS biasa. Bekerja di Bappenas.



&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&
For detail and others please check my website &&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&

1 comment:

Anonymous said...

hmmmmm..kesimpulan terakhir..not play-not play,bukan main,bukan main
mang erot tea