Oleh: Ir. Eddy Satriya, MA *)
satriyaeddy@yahoo.com
Catatn: Artikel telah diterbitkan di Harian Bisnis Indonesia tanggal 21 Mei 2004.
================================
Acungan jempol kiranya layak diberikan kepada management PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk (Telkom) dan jajaran Ditjen Pos dan Telekomunikasi (Postel), Departemen Perhubungan yang berhasil mengakhiri “mitos” tentang ketidakberanian pemerintah selama ini untuk menaikkan tarif suatu layanan publik menjelang Pemilu. Bandingkan dengan PT. PLN dan jajaran Ditjen Listrik dan Pemanfaatan Energi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral yang jauh-jauh hari sudah “ngeper” dan memilih untuk menghindari kenaikan tarif dasar listrik. Padahal kondisi kedua perusahaan ini justru dalam posisi yang berlawanan. Telkom terus menerus mencatat laba dalam orde Triliunan Rupiah, PT.PLN dilain pihak berada dalam kondisi finansial yang tidak menggembirakan dan terus berupaya menaikkan tarif sebagai salah satu cara untuk mempertahankan operasional perusahaan.
Kenaikan tarif telepon terhitung 1 April 2004 sebesar 28,21% untuk pulsa lokal, dan kenaikan biaya abonemen sebesar 24,9% telah banyak menuai protes disela-sela kesibukan rakyat dan komponen bangsa lainnya mempersiapkan diri menghadapi Pemilu yang sangat penting. Walaupun ada penurunan untuk Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ), para pengamat telekomunikasi tetap menolak kenaikan tarif tersebut. Begitu pula tanggapan yang tetap sengit diberikan oleh Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Indah Sukmaningsih yang berpendapat bahwa kenaikan tarif telepon akan berdampak banyak terhadap harga barang kebutuhan lainnya (Media, 02/04/04).
Sementara itu management PT. Telkom kelihatannya semakin mantap. Direktur Utama Telkom beserta jajarannya yang baru saja dilantik tetap yakin bahwa mereka memang berhak untuk mendapat kenaikan ataupun penyesuaian tarif lokal tersebut. Bahkan beliau menyatakan bahwa Telkom masih berhak atas cadangan kenaikan sebesar 21 % (Bisnis, 1/04/04). Berbagai alasan telah dikemukakan. Singkat kata bagi jajaran Telkom berlaku pepatah “biarkan anjing menggongong, kafilah tetap berlalu”.
Kondisi ini memang terlihat setelah sebulan lebih sejak kenaikan tarif. Masyarakat terlihat “pasrah” menerima kenaikan tarif seiring dengan kenaikan berbagai harga barang dan jasa lain dalam kehidupan sehari-hari, serta riuhnya perhitungan hasil Pemilu Legislatif, “teka-teki silang” Capres dan Cawapres mendatang, dan berbagai persoalan sosial lainnya yang juga menyita perhatian.
Sebenarnya ada tiga hal utama yang sebaiknya menjadi perhatian bersama. Pertama, tarif telekomunikasi di seluruh dunia cenderung turun terus, baik di negara berkembang maupun negara maju.
Diversifikasi jasa layanan dan sistem tarif pun dirancang agar semakin memudahkan pelanggan. Philipina sebagai sesama negara berkembang sejak beberapa tahun lalu telah membebaskan tarif telepon lokal untuk seluruh wilayah negara kepulauan tersebut. Dengan membayar iyuran bulanan tertentu, masyarakat disana dapat bebas melakukan panggilan atau ber-Internet ria 24 jam sehari, persis seperti di Amerika Serikat. Hal ini sejalan dengan tujuan World Summit on Information Society (WSIS) di Geneva akhir 2003 lalu yang ingin mewujudkan masyarakat informasi pada tahun 2015 nanti.
Kedua, sejak krisis ekonomi melanda tahun 1997 lalu pembangunan telepon tetap oleh Telkom praktis stagnan. Prestasi membangun sebanyak 500.000 satuan sambungan (ss) per tahun untuk kurun waktu Pelita V lalu tidak mampu ditingkatkan. Kapasitas sentral yang berjumlah sekitar 7,5 juta ss pada tahun 1997 hanya meningkat menjadi sekitar 9 juta ss pada tahun 2004 ini. Hal ini memperlihatkan bahwa Telkom memang tidak “berselera” menyediakan jasa sambungan telepon tetap kepada masyarakat.
Ketiga, telah terjadi inkonsistensi alasan dalam proses kenaikan tarif. Hal ini agak berbau “pembodohan” kepada masyarakat pengguna telepon. Terlalu sering kita mendengar dari Dirjen Postel atau Menteri Perhubungan berargumentasi bahwa sejak tahun 1985 sektor telekomunikasi tidak memperoleh dana pembangunan (APBN) -hal yang tidak sepenuhnya benar- lagi dari pemerintah. Karena itu kenaikan tarif adalah suatu keharusan apabila menginginkan tambahan fasilitas telekomunikasi. Namun setelah kenaikan tarif tahun 2002 lalu, Ditjen Postel pada tahun anggaran 2003 kembali mengajukan permohonan dana dan telah disetujui pemerintah guna membiayai pembangunan telepon perdesaan sebesar Rp 45 Miliar.
Telkom semakin menancapkan kukunya dan nyaris tidak tersaingi oleh para pemain lain. Lebih-lebih untuk sambungan lokal dan SLJJ yang sangat ditakutkan oleh pengguna jasa yang berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi terutama di sektor riil. Sudah banyak Internet Service Provider (ISP) yang gulung tikar. Sudah banyak pula Warung Telekomunikasi, bukan Warung Telkom, yang bangkrut. Sudah tak terhitung pula warnet yang terpaksa tutup atau berubah menjadi Game Center, karena kalah bersaing dengan produk-produk Telkom seperti Telkomnet Instan yang semakin kompetitif dengan kenaikan tarif lokal. Singkat kata, walaupun kita sudah punya badan Badan Regulasi Telekomunikasi Independen (BRTI), sudah punya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Ditjen Postel sebagai pembuat kebijakan teknis, tetap saja belum tercipta iklim kompetisi yang sebenar-benarnya.
Menarik pula untuk dicermati bahwa kenaikan tarif telepon tetap telah menjadi pemicu naiknya tarif jenis jasa telekomunikasi lainnya. Terbukti, sekitar sebulan setelah kenaikan tarif, PT. Telkomsel pun sudah merealisasikan penyesuaian tarif telepon seluler. Gejala ini kelihatannya akan diikuti oleh operator seluler lainnya.
Lantas bagaimana sebaiknya menyikapi perkembangan ini? Sungguh tidak banyak yang bisa dilakukan masyarakat pengguna jasa telekomunikasi. Mengharapkan perhatian anggota DPR untuk meninjau ulang kenaikan tarif dalam kondisi seperti sekarang ini adalah musykil. Nasi sudah menjadi bubur. Melakukan demonstrasi akan semakin memperumit permasalahan sosial yang sudah menumpuk ditengah masyarakat. Sementara itu penyelesaian peraturan pelaksanana UU Telekomunikasi khususnya tentang Interkoneksi yang menjadi salah satu kunci pelaksanaan kompetisi, masih berlarut-larut.
Satu-satunya cara hanyalah dengan membiarkan nurani bicara. Yaitu dengan mengetuk nurani jajaran managemen PT. Telkom dan Ditjen Postel. Sebagai pengguna jasa dan sekaligus warganegara biasa, saya mengusulkan cara ini. Ada beberapa alasan untuk itu. Pertama, Telkom merupakan suatu Perseroan Terbatas terbuka dengan kapitalisasi besar dan keuntungan yang juga relatif besar setiap tahunnya secara berturut-turut. Kedua, sudah sangat banyak sumber daya nasional yang diprioritaskan alokasinya untuk membesarkan Telkom, termasuk dari hutang luar negeri (LN) yang pokok dan bunganya masih harus dibayarkan tiap tahunnya oleh pemerintah sekarang maupun anak cucu kita nanti. Perlu ditegaskan bahwa hutang LN sektor telekomunikasi secara akutansi termasuk bagian RAPBN. Besarnya hutang LN dari tahun 1980 hingga tahun 2000 dapat dilihat pada Tabel 1. Walaupun hutang tersebut sebagian besar telah di two-step-loan kan ke PT. Telkom, namun sampai terjadinya krisis 1997/98 semua resiko government to government (G to G) tetap ditanggung pemerintah Indonesia. Artinya resiko perbedaan kurs dalam mata uang asing masih ditanggung pemerintah, sementara Telkom membayar hutangnya kepada pemerintah dalam mata uang Rupiah. Ketiga, telah terjadi kerugian ekonomi dalam jumlah yang cukup besar dari pembatalan dan perubahan pola pembangunan Kerja Sama Operasi (KSO) antara Telkom dan Mitranya. Menurut kalkulasi kasar tanpa memperhitungkan discount rate yang berlaku, diperkirakan ekonomi nasional berpotensi mengalami kerugian sebesar hampir USD 2,5 milyar (lihat Tabel 2). Sementara kerugian finansial yang tidak kecil juga dialami Telkom. Kita memahami bahwa KSO merupakan alternatif penyertaan swasta dalam pembangunan prasarana dasar yang melibatkan berbagai stakeholder. Tetapi perjanjian KSO secara legal ditandatangani oleh Telkom dan Mitranya.
Memperhatikan ketiga alasan tersebut, kiranya management Telkom yang nota bene masih merupakan BUMN - bukan PMA seperti Indosat - dapat terketuk hatinya untuk mengerem tingkat kenaikan tarif dimasa datang ataupun merevisi sendiri besarnya tariff balancing yang sedang berlaku. Hal ini sesungguhnya sangatlah vital guna mendorong pertumbuhan ekonomi dan pemanfaatan berbagai jasa telekomunikasi, multimedia, maupun teknologi informasi yang pada gilirannya akan mempercepat terwujudnya masyarakat informasi sebenar-benarnya di Indonesia. Disisi lain, pemerintah khususnya Departemen Keuangan, Kantor Meneg BUMN, dan Depertemen Perhubungan sebaiknya membahas ulang secara terpadu besaran keuntungan Telkom yang harus disisihkan untuk pemerintah, target dan transparansi pengelolaan Penghasilan Negara Bukan Pajak (PNBP), dan realisasi percepatan proses kompetisi. Dengan kerjasama semua pihak terkait, diharapkan motto Telkom tidak meleset dari “Commited 2 U” menjadi “Committed 2 Me!”
______
*Penulis adalah Senior Infrastructure Economist. Berkerja di Bappenas.
(Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis, tidak harus mencerminkan pendapat instansi tempat penulis bekerja)
&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&
For detail and others please check my website &&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment