Tuesday, June 01, 2004

“REGULATOR UNDER ATTACK” -----(seri tulisan infrastruktur)


Oleh: Eddy Satriya, MA*)
Email: satriyaeddy@yahoo.com; esatriya@bappenas.go.id


Catatan: Telah diterbitkan dalam Majalah Triwulanan Perencanaan Pembangunan No. 33 Okt-Des 2003

=========================

Regulator pada tataran praktis merujuk kepada suatu departemen teknis yang bertugas mengatur terselenggaranya fungsi pelayanan publik. Tugas dan fungsi pengaturan ini biasanya dilaksanakan oleh sebuah kantor Direktorat Jenderal (Ditjen). Judul “Regulator Under Attack” sengaja dipilih untuk menggambarkan betapa rumitnya posisi regulator, terutama yang membidangi prasarana dasar seperti ketenagalistrikan, jalan dan jembatan, air bersih, telekomunikasi, pelabuhan, bandara, serta pipa minyak dan gas (migas). Kerepotan regulator ini semakin bertambah di era kompetisi dan globalisasi yang ditandai dengan terbitnya berbagai regulasi serta kemajuan teknologi yang relatif cepat. Tulisan ini mencoba membahas kerepotan yang dihadapi regulator serta menelusuri kesiapan mereka menghadapi era kompetisi untuk tiga sektor prasarana dasar yaitu telekomunikasi, migas, dan ketenagalistrikan.

Kebijakan dan peraturan yang dibuat dalam rangka reformasi sektor biasanya bertujuan untuk meningkatkan kinerja regulator serta memperbaiki mutu layanan kepada masyarakat pengguna jasa melalui pemisahan ruang lingkup tugas dan fungsi antara pembuat kebijakan, regulator, dan penyelenggara jasa (operator). Masa transisi dari era monopoli ke era kompetisi membuat regulator menjadi gamang. Beberapa industri dalam era kompetisi dan globalisasi di negara maju memang menuntut suatu sistem pengaturan yang independen. Sementara itu di dalam negeri kita menyaksikan pula maraknya tuntutan akan suatu badan regulasi yang independen, walaupun gambaran tentang nama, bentuk, tugas-tugas pokok, serta fungsi badan regulator tersebut masih belum jelas benar.

Sejalan dengan reformasi dan restrukturisasi sektor, dilaksanakannya otonomi daerah, serta tuntutan pasar, maka berbagai regulasi yang mengatur prasarana telah pula diterbitkan seperti UU No. 36/1999 tentang Telekomunikasi, UU No. 22/2001 tentang Migas, dan UU No. 20/2002 tentang Ketenagalistrikan. Ketiga UU yang terbit di era reformasi ini memang mencuatkan antara lain masalah definisi ulang peran regulator. Saat ini kesiapan para regulator terlihat cukup beragam. Ada regulator yang telah mempersiapkan diri, namun ada pula yang baru mulai dan membenahinya sesuai perjalanan waktu. Menariknya lagi, ada regulator yang memahami benar tuntutan di sisi independensi, namun tidak siap dibidang lain. Sebaliknya, ada regulator yang telah cukup maju dalam restrukturisasi sektor, namun terlihat “gagap” dan tidak tahu harus melakukan apa tentang independesi regulasi.

Berbagai peraturan pelaksana ketiga UU tersebut yang menjabarkan berbagai masalah regulasi dan kebijakan secara lebih rinci ternyata tidaklah mudah untuk diselesaikan tepat waktu, sehingga masa transisi menjadi saat-saat kritis untuk industri sekaligus merepotkan bagi regulator sendiri.
***

Kantor Ditjen Pos dan Telekomunikasi (Postel) adalah salah satu regulator yang paling banyak menuai “serangan”. Bahkan beberapa hari sebelum diterbitkannya Keputusan Menteri Perhubungan No. 31/2003 tentang Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) yang ditandatangani tanggal 11 Juli 2003, telah beredar tanggapan bernada miring dan skeptis dikalangan masyarakat dan pelaku bisnis telekomunikasi. Bagi mereka BRTI terkesan dipaksakan guna “membelutkan” diri dari kewajiban membentuk Independent Regulatory Body (IRB) sebelum menaikkan tarif telekomunikasi.

Sebelumnya kantor Ditjen Postel juga telah mendapat banyak keluhan dan protes berkaitan dengan pemberian lisensi penyelenggaraan jasa VOIP, penggunaan frekuensi 2,4 GHz serta proses penyegelan perangkat telekomunikasi yang dianggap ilegal. BRTI yang diketuai Dirjen Postel ditambah anggota Komite Regulasi Telekomunikasi dirasakan jauh dari nuansa independen. BRTI ini juga dirasakan belum memenuhi harapan masyarakat industri telekomunikasi yang sangat membutuhkannya. Kondisi ini dapat dimaklumi mengingat tingginya tingkat kompetisi yang untuk sebagian segmen layanan telah mulai memasuki babak kompetisi “berdarah-darah” antara PT. Telkom dan PT. Indosat. Kompetisi “berdarah-darah” ini jelas sangat merugikan ekonomi nasional dan masyarakat pengguna jasa.

Lain industri telekomunikasi, lain pula nuansa yang ada di sektor Migas. Jika proses kompetisi sudah mulai berjalan di sektor telekomunikasi, maka tidak demikian halnya dengan industri Migas. Pasar masih didominasi oleh Pertamina dan para KPS (Kontraktor Production Sharing) di bagian hulu, sedangkan di hilir jumlah pemain masih terbatas. Hal ini antara lain terlihat dari langkanya pasokan gas untuk industri dalam negeri, serta masih tingginya harga yang harus dibayar rumah tangga jika menggunakan gas untuk keperluan sehari-hari. Walau agak tertinggal dalam hal kompetisi dibandingkan dengan jasa telekomunikasi, industri Migas dari sisi regulasi terasa lebih reformis melalui UU Migas dan PP No. 31/2003 tentang reposisi Pertamina. Proses pembentukan dua badan, yaitu Badan Pelaksana (hulu) dan Badan Pengatur (hilir) yang berfungsi sebagai wasit, juga dinilai telah menjalankan kaidah transparansi melalui pelaksanaan fit dan proper test di DPR beberapa waktu lalu. Badan Pelaksana yang sering disingkat dengan BP Migas dibentuk dengan PP No. 42/2002 dan telah pula berfungsi, sedangkan Badan Pengatur yang dibentuk melalui PP No. 67/2002 sedang dalam tahap memulai tugasnya.

Sayangnya BP Migas oleh sebagian kalangan dinilai mulai keluar dari jalurnya dan telah menuai protes dari masyarakat dalam memutuskan pemenang beberapa kontrak eksplorasi beberapa waktu lalu (Kompas, 17/7/03). Adanya temuan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk kwartal I tahun anggaran 2003 - walaupun besar temuan pemeriksaan masih belum “disepakati”- cukup merepotkan posisi BP Migas yang baru berumur “setahun jagung” (Kompas, 21/7/03). Sementara itu, Ditjen Migas dibawah naungan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) justru terkesan belum begitu siap dengan berbagai implikasi reformasi di sektor Migas. Keluarnya PP No. 31/2003 telah membebaskan Pertamina dari berbagai tugas dan fungsi regulasi yang pernah diemban sewaktu masih memonopoli sektor migas. Hal ini membuat kantor Ditjen Migas harus menyiapkan sendiri regulasi, sumber daya, anggaran dan keperluan penunjang lainnya untuk bisa berpartisipasi dalam berbagai fora internasional seperti OPEC dan pertemuan regional lainnya. Sementara itu Pertamina dirasakan masih belum “rela” dan tentu saja butuh waktu untuk melepaskan sebagian peran sentral yang selama ini dijalankan di sektor migas.

Sektor ketenagalistrikan menarik pula untuk diamati, terutama guna memahami peranan regulator yang juga tidak mudah. Terbitnya UU 20/2002 telah melepaskan sebagian kewajiban PT. PLN. Pasal 7 UU Ketenagalistrikan menegaskan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah (pemda) menyediakan dana untuk penyediaan tenaga listrik melayani kelompok masyarakat tidak mampu, penyediaan tenaga listrik di daerah yang belum berkembang, pembangunan tenaga listrik di daerah terpencil dan pembangunan listrik perdesaan. Jelas suatu tambahan tugas yang tidak mudah bagi kantor Ditjen Listrik dan Pemanfaatan Energi (LPE) disaat ratio elektrifikasi masih di sekitar angka 50 % serta kompetisi yang masih belum berjalan.

Namun demikian, sektor Ketenagalistrikan beruntung telah meluncurkan buku Cetak Biru yang diberi nama Pedoman dan Pola Tetap Pengembangan Industri Ketenagalistrikan 2003-2020, tepat pada peringatan hari Kartini tahun 2003. Meskipun cetak biru telah diluncurkan dan rencana restrukturisasi sektor telah dipersiapkan, saat ini masyarakat masih menyisakan berbagai keluhan terhadap kinerja sektor dan operator. Kualitas, keandalan, dan ketersediaan pasokan tenaga listrik dengan harga yang terjangkau masih jauh dari dari harapan industri dan masyarakat pengguna jasa. Jika di sektor telekomunikasi dan migas telah terbentuk badan regulator, maka di sektor listrik ini Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik (Bapeptal) untuk daerah kompetisi baru akan terbentuk bulan September 2003.

Secara ringkas kondisi dan tantangan yang harus dihadapi regulator untuk ketiga sektor telekomunikasi, migas dan listrik dapat dilihat pada Tabel Perbandingan Kondisi Regulasi dan Kebijakan. Terlihat bahwa (a) ketiga sektor telah mempunyai UU dalam memasuki era kompetisi; (b) hanya sektor migas saja yang belum mempunyai dokumen Blue Print pengembangan industri migas nasional; (c) baru sektor migas yang telah mempunyai IRB menuju independensi melalui proses pendirian yang transparan; dan (d) kompetisi mulai berjalan disektor telekomunikasi, disusul oleh sektor migas.

Tabel Perbandingan Kondisi Regulasi dan Kebijakan
(Sektor Telekomunikasi, Migas dan Ketenagalistrikan)
-------------------------------------------------------------
Sektor Blue Print UU IRB Kompetisi
Telekomunikasi ● ● ◑ ◑
Migas ○ ● ● ◑
Ketenagalistrikan ● ● ○ ○
-------------------------------------------------------------
Keterangan: ○: Belum/belum ada ● : sudah/sudah ada ◑ : sebahagian

Memperhatikan permasalahan seputar regulasi dan kebijakan yang meliputi keberadaan UU, Blue Print, IRB dan tingkat kompetisi untuk ketiga sektor di atas, tentu menjadi pertanyaan bagi kita mengapa regulator masih terkesan lamban sehingga mutu pelayanan sulit ditingkatkan. Ada beberapa penjelasan untuk hal tersebut. Pertama, regulator dan penyusun kebijakan sering tidak bisa memisahkan permasalahan restrukturisasi sektor dengan restrukturisasi operator. Kedua, adanya “keharusan” yang tercantum dalam Letter of Intents antara IMF dengan pemerintah, misalnya IRB untuk telekomunikasi, yang mau tidak mau berpengaruh dalam perumusan isi kebijakan, target, serta jadwal restrukturisasi. Ketiga, timbulnya dualisme pengelolaan BUMN antara departemen teknis dan kantor Meneg BUMN. Koordinasi yang baik masih sulit diwujudkan. Departemen teknis yang dalam tataran praktisnya lebih mengetahui kondisi sektor dan BUMN terkait, tidak bebas lagi menetapkan paket direksi dan restrukturisasi BUMN. Keempat, sulit menghindarkan conflict of interest dimana seorang Direktur atau Direktur Jenderal yang berfungsi sebagai regulator pada saat bersamaan juga menjadi komisaris atau bahkan komisaris utama BUMN terkait. Terakhir, pendapatan negara bukan pajak (PNBP) yang telah dikumpulkan regulator tidak bisa langsung digunakan untuk perbaikan sektornya, karena PNBP disetorkan ke kas negara. Adapun penggunaannya kembali untuk sektor biasanya harus melalui prosedur tersendiri di Departemen Keuangan.
Ironisnya lagi, terbitnya UU No. 19/2003 tentang BUMN justru menambah “serangan” terhadap regulator. Pasal 66 memberikan semacam kelonggaran kepada BUMN untuk tidak melaksanakan Kewajiban Pelayanan Umum atau sering dikenal dengan istilah Universal Service Obligation (USO). Kalaupun BUMN akan melaksanakannya, harus terlebih dahulu meminta persetujuan RUPS/Menteri. Alhasil, semua kegiatan pembangunan di daerah yang tidak quick yielding pun kembali menjadi beban pemerintah yang harus dipikul sendiri oleh regulator ditengah kesulitan menyediakan Rupiah murni untuk pembangunan. Sementara BUMN bisa melenggang dengan tenang untuk memikirkan profit dan neraca perusahaan semata. Really, regulators are now under attack!

------
*) Penulis adalah Senior Infrastructure Economist, Direktorat Energi, Telekomunikasi dan Informatika – BAPPENAS

No comments: